Lihat ke Halaman Asli

Honorer

Diperbarui: 5 Oktober 2022   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Dalam tahun 1997. Baru satu setengah tahun menjadi guru koleksi dasi Pak Rofik sudah mencapai belasan. Setiap hari dia wajib berpakaian rapi, berbaju kemeja lengan panjang dan mengenakan dasi. Begitulah peraturan di SMA swasta tempatnya mengajar. Dia tidak membelinya sendiri dasi itu melainkan pemberian dari pihak sekolah. Dengan mengenakan dasi penampilannya menjadi lebih berwibawa, seperti kaum eksekutif. "Ganteng, kayak sales minyak angin!" kelakar istrinya ketika dia berangkat mengajar dengan menjinjing tas.  Dengan spontan dia membalas, " Ini juga istrinya sales minyak angin!"

Pak Rofik tampak lebih berkelas saat mengenakan jas hitam dengan dasi biru kombinasi koleksinya yang paling lebar untuk menghadiri acara perpisahan kelas akhir. Jas itu dibelinya di pasar Senen seharga lebih dari separuh dari gajinya. Saat itu nilai rupiah baru saja melemah atas dolar. Sesungguhnya bukan harga jasnya yang terlampau mahal melainkan karena gajinya yang tidak seberapa dibanding pendapatan tetangganya yang berjualan es orson. Meskipun mengajar di sekolah yang terbilang favorit tapi gajinya biasa saja, sama dengan di sekolah swasta pada umumnya.

Suatu ketika pernah terjadi para guru mogok mengajar. Mereka menuntut kenaikan gaji, tapi buntutnya beberapa guru yang dianggap sebagai propokator diberhentikan dengan cara halus. Mereka tidak diberi jam mengajar dalam jangka yang tidak tentu. Tidak ada uang honor per jam mengajar bagi mereka. Akhirnya satu per satu mereka mengundurkan diri tanpa mendapat imbalan apa-apa. Dengan alasan masih terbilang guru baru Pak Rofik tidak ikut-ikutan sehingga tidak ada sanksi banginya.

Memasuki tahun ketiga dia mendapat tawaran mengajar di SMA negeri atas rekomendasi kepala sekolahnya. Kebetulan di SMA swasta jatah mengajarnya hanya delapan belas jam, diambilnya kesempatan itu. Tanpa diduga Pak Rofik kemudian dipercaya menjadi wali kelas sebelas.

Dia merasa tak enak hati. "Ini tidak salah Pak, saya kan masih baru. Saya tidak enak dengan guru lain."  

"Tidak apa-apa Pak Rofik, sekarang jumlah kelasnya bertambah. Semua guru telah mendapat tugas sesuai kafasitasnya. Semoga bapak bisa menerima." Kepala sekolah SMA negeri ini telah mengetahui kafasitasnya dari kepala sekolah swasta tempat dia mengajar.    

"Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Bapak. Mohon bimbingan Bapak agar saya dapat melaksanakan tugas dengan baik. Terima kasih atas kepercayaan yang Bapak berikan."

"Baik."

Dalam satu forum rapat dia memohon bimbingan kepada guru-guru senior agar dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Kendati tidak perlu dibangga-banggakan, setidaknya dia bersyukur diberi kepercayaan dan kesempatan untuk belajar lebih banyak dalam menjalani profesi. Sebagai guru yang terbilang baru Pak Rofik masih merasa seperti tamu di SMA negeri itu. Terutama terhadap guru-guru senior dia masih minder. Untung mereka umumnya dapat memaklumi. Terhadap siswa binaan dia berusaha menjalin komunikasi agar mereka terlayani.

Selasa dan Kamis Pak Rofik mengajar di dua sekolah. Setiap Selasa dari sekolah swasta ke sekolah negeri terpaksa dia melepas dasi, sedangkan pada hari Kamis terjadi sebaliknya. Hal itu dilakukannya karena di sekolah swasta wajib mengenakan dasi, sedangkan di sekolah negeri tak ada yang memakai dasi karena tidak diharuskan. Guru-guru PNS umumnya memakai pakaian dinas, tapi ada juga yang berpakaian kemeja. Mengajar di dua sekolah dijalaninya secara baik. Terhadap jam mengajarnya yang bentrok telah dia konfirmasikan dengan bagian kurikulum sebagai penyusun jadwal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline