Usman Hermawan
Pepohonan masih relatif banyak. Ketika magrib tiba di sebagian area Kampung Cina masih serasa disergap kegelapan. Lampu-lampu luar rumah yang menyala tak mampu menerangi setiap kegelapan itu. Namun begitu keluar kampung dan memasuki kawasan perumahan serasa memasuki kawasan perkotaan. Berjalan kaki ke bagian manapun tak perlu menggunakan lampu senter. Penerangan lampu jalan dan cahaya dari lampu luar rumah-rumah dan toko-toko sudah memadai.
Sepertinya enak tinggal di perumahan seperti itu. Namun jika ditanya, mengapa aku memilih tinggal mengontrak rumah di Kampung Cina? Jawabnya tentu sederhana, yakni biaya sewanya relatif murah, dan istriku sebagai buruh cuci bisa dengan berjalan kaki ke rumah majikannya.
Selepas magrib datanglah seseorang bertamu ke rumahku diantar Karsono, penghuni rumah kontrakan paling ujung. Namanya Suryanto dan mengaku dari Cirebon. Kurasa tampangnya cukup familiar dan usianya sedikit lebih muda dari aku. Jarang sekali aku mendapatkan orang yang baru kenal langsung akrab. Baru berbincang beberapa saat saja dia sudah berani mengajak makan nasi goreng. Aku pun menimpalinya dengan gaya sok akrab.
"Aku tak ada uang. Lagi nganggur begini, uang dari mana?"
"Sama dong, kita ke tukang nasi goreng yuk barangkali saja ada yang ngasih."
"Halahhh, siapa yang mau ngasih, Mas Yanto. Sudah hampir sembilan tahun aku tinggal mengontrak di sekitar sini belum pernah ada yang meneraktir nasi goreng."
"Nanti aku yang traktir kalau dapat uang."
"Katanya tidak punya uang."
"Barangkali ada yang ngasih."
"Siapa yang mau ngasih, Mas!"