Lihat ke Halaman Asli

Tambang Emas di Madina: Siapa Untung Siapa Buntung?

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dalam menjalankan aktivitas kampanye pengusiran PT Sorikmas Mining (SM) dari Bumi Mandailing Natal (Madina) di dunia maya, beberapa kali saya berhadapan dengan pertanyaan yang mengandung pertimbangan ekonomi. Kalau tidak ditambang, kan daerah rugi, tidak mendapatkan pemasukan? Kira-kira begitu pertanyaannya. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memang benar Pemkab Madina akan mendapatkan pemasukan dari model industri ekstraktif skala besar dan jangka pendek seperti tambang emas, tetapi nilainya lebih kecil dibandingkan dari insentif ekonomi model pembangunan berkelanjutan, jangka panjang dan lintas generasi yang sudah berjalan. Hanya saja insentif dari model ekonomi yang kedua jarang dikalkulasi secara ekonomi. Tulisan ini, dengan demikian, akan membandingkannya.

Memang benar, pertambangan akan memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Madina. Akan tetapi, apakah insentif itu akan sampai juga ke masyarakat Madina, itu adalah persoalan yang berbeda, karena korupsi adalah salah satu permasalahan paling besar yang sedang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Berdasarkan publikasi Transparancy International pada tahun 2009, maka Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara yang disurvey. Peringkat 180 adalah negara yang dipersepsikan paling korup sedangkan peringkat pertama adalah negara yang dipersepsikan paling tidak korup.

Dalam konteks pertambangan emas PT SM di Kabupaten Madina ini, maka permasalahan korupsi ini juga perlu menjadi perhatian untuk melihat siapa yang untung dan siapa yang buntung dengan akan adanya tambang emas ini.

Dalam tradisi industri ekstraktif skala besar dan jangka pendek seperti pertambangan, maka biasanya, selain perusahaan, yang mendapatkan keuntungan adalah para elit masyarakat. Elit dalam hal ini bisa didefinisikan banyak hal. Mulai dari pegawai pemerintahan kabupaten, para pemimpin seperti Kepala Desa dan pemimpin organisasi, para broker yang dengan jeli melihat kesempatan, dan tentu saja segelintir orang yang, karena dinilai memiliki “kualifikasi yang dianggap mencukupi”, menjadi pekerja perusahaan. Sementara kalangan rakyat kebanyakan, berbanding terbalik dengan nasib mereka yang paling dirugikan, biasanya akan menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan uang dari tambang. Bagaimana hal ini dapat terjadi?

Dalam bisnis pertambangan, maka uang mengalir dari atas ke bawah. Dimulai dari perusahaan, masuk ke kas daerah, baru kemudian turun ke masyarakat melalui berbagai bentuk pembangunan. Dalam perjalanannya, seringkali di tiap level transaksi sejumlah uang ini ‘menguap’. Sehingga ketika akan turun ke bawah uang sudah sedemikian kecil. Atau kalau tidak ada gerakan dari bawah, maka uang ini tidak akan turun. Maka dalam hal ini tentu saja yang mendapatkan keuntungan adalah para pejabat publik. Dalam dunia pertambangan, sogok-menyogok tampaknya adalah hal yang lazim dilakukan.

Pihak kedua yang akan memperoleh keuntungan adalah para elit masyarakat seperti Kepala Desa, pemimpin organisasi, dan para broker. Kepala desa dan pemimpin organisasi biasanya akan mendapatkan uang karena mereka memiliki massa. Kekuatan massa adalah hal yang riil yang sangat ditakuti oleh perusahaan pertambangan. Para pemimpin ini biasanya dirayu sedemikian rupa agar “menjual” massanya untuk kepentingan pribadi. Contoh kasus seperti ini banyak terjadi, sebut saja misalnya bagaimana para elit masyarakat korban Lumpur Lapindo mendapatkan keuntungan dari proses jual-beli tanah dengan PT Lapindo Brantas Inc., atau juga gejala munculnya istilah”Kiyai Migas” di Pulau Madura. Broker biasanya berfungsi menjadi perantara pihak perusahaan dengan pihak yang ingin didekati oleh perusahaan.

Pihak ketiga, segelintir pekerja yang dengan “kualifikasi yang dianggap mencukupi” untuk menjadi pekerja tambang. Para pekerja berskill tinggi seperti geologist adalah profesional yang akan berada dimana uang ada. Sementara orang-orang lokal yang direkrut hanya sedikit jumlahnya. Dalam sebuah kesempatan, Leohara Situmeang, salah satu pegawai PT SM yang mengurusi permasalahan community development, menyatakan bahwa PT SM mempekerjakan sebanyak 200-an orang tenaga kerja lokal (Eksposnews.com; 10/07/2010).Jumlah ini sangat kecil mengingat penduduk Madina memiliki jumlah sebanyak 413.750 jiwa (wikipedia.com). Dengan kata lain, tenaga kerja yang diserap oleh PT SM tidak sampai 0,5 %.

Bagaimana perbandingan insentif ekonominya? Berdasarkan data yang dirilis oleh LSM Bitra Indonesia pada bulan Juli tahun ini, maka diketahui bahwa nilai ekonomi yang akan diperoleh dari model industri pertambangan ekstraktif skala besar berjangka pendek di area Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) hanyalah bernilai sebesar Rp. 121,3 milyar per tahun.

Sementara itu, akumulasi keuntungan jasa lingkungan dengan model berkelanjutan, jangka panjang, dan lintas generasi yang melingkupi sektor seperti pemanfaat hasil hutan non-kayu (karet, rotan, kopi, kayu manis, sarang burung walet, aren dan durian), potensi ekowisata, daerah aliran sungai, simpanan karbon, dan keanekaragaman hayati, didapatkan angka sebesar Rp. 265,5 milyar per tahun, atau lebih dari dua kali lipat dari insentif yang diperoleh melalui industri ekstraktif seperti pertambangan emas.

Kalau nilai ekonomi hutan di Madina yang juga berfungsi sebagai pencegah banjir, erosi, dan tanah longsor dimasukkan, maka secara total dalam jangka waktu 25 tahun Pemkab Madina menghemat sebanyak Rp. 225 milyar. Karena apabila hutan sudah dibabat, maka otomatis Pemkab harus mengeluarkan biaya untuk pemulihan bencana ini. Di bidang tenaga kerja, Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis menjamin ketersediaan pasokan air untuk berbagai sektor kehidupan bagi 413.000 jiwa yang hidup di 386 desa pada 23 kecamatan di Kabupaten Madina.

Pertanyaannya, kalaulah industri berkelanjutan, jangka panjang dan lintas generasi lebih menguntungkan, mengapa Pemkab Madina memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi bagi PT SM? Alasannya gampang ditebak. Karena dalam industri ekstraktif uang mengalir dari atas ke bawah, maka para elit memiliki kesempatan untuk mendapatkan keuntungan melalui berbagai macam cara seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sementara, dalam industri berkelanjutan, jangka panjang dan lintas generasi, uang berputar riil di tengah-tengah masyarakat, dan kalangan elit susah mengambil keuntungan dari proses ekonomi seperti ini.

Hal inilah yang menyebabkan Pemkab Madina merestui operasi PT SM, karena mereka berfikir tentang keuntungan yang akan dapat mereka terima dari proses industri ekstraktif ini. Celakanya, kalangan elitlah yang memiliki akses pada proses pembuatan kebijakan publik sehingga hasilnya pun terdistorsi sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan demikian tak ada jalan lain bagi kalangan ekonomi level bawah Kabupaten Madina kecuali mendesakkan kepentingan mereka melalui berbagai cara, karena tampaknya sebagian besar kalangan elit di Madina sudah tidak dapat diharapkan.

Kunjungilah blog: http://usirsorikmasmining.wordpress.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline