Lihat ke Halaman Asli

Melindungi Kota dari Bencana Industri

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paska Reformasi ‘98, terjadi perubahan yang sangat mendasar di bidang struktur pengelolaan pemerintahan di Indonesia. Perubahan ini pada intinya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten dan kota. Salah satu kewenangan yang diemban oleh pemerintah kabupaten dan kota adalah mengurus perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang daerah serta melakukan pengendalian lingkungan hidup.

Sama seperti di Amerika Latin dan Eropa bagian Tengah (Scott, 2009) persoalan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia berayun di dua bandul. Di satu sisi desentralisasi adalah sebuah transformasi sosial yang merupakan bagian dari demokratisasi, sementara di sisi yang lain, otda hanya menjadi bagian dari kepentingan rezim neo-liberal untuk memperlancar penetrasi modal. Untuk konteks Indonesia, setidaknya berdasarkan 3 studi kasus bencana industri di tiga lokasi, tulisan ini melihat bandul terakhirlah yang lebih kuat.

Bencana industri secara sederhana dapat diartikan sebagai bencana yang terjadi akibat aktivitas industri. Bentuknya bisa bermacam-macam, misalnya, bahaya radiasi karena bocornya reaktor nuklir seperti kasus Chernobyl, meledaknya tangki minyak, tumpahnya minyak ke laut karena kebocoran pada kapal tanker atau karena terjadinya underground blowout seperti yang terjadi pada salah satu sumur pemboran British Petroleum di Teluk Meksiko, Lumpur Lapindo yang terjadi karena adanya underground blowout pada sumur eksplorasi gas, hingga banjir yang diprakondisikan oleh illegal logging.

Dalam kasus bencana industri di tiga kawasan, yaitu Sidoarjo dan Bojonegoro (Jawa Timur), dan Pati (Jawa Tengah), kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah digunakan sebagai bagian dari strategi mendatangkan investor di bidang industri ekstraktif. Di ketiga daerah tersebut kegiatan industri ekstraktif menyebabkan-dan memperbesar resiko-terjadinya bencana industri dalam berbagai skala intensitas.

Di Kabupaten Sidoarjo, pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) No. 16/2003 Kabupaten Sidoarjo berupa pemboran eksplorasi gas di daerah berpenduduk padat telah menyebabkan terjadinya bencana Lumpur Lapindo yang sampai pada bulan Maret 2010 telah menyebabkan sekitar 14.000 Kepala Keluarga terpaksa pindah dari kampung mereka. Di Kabupaten Bojonegoro, kawasan yang dalam Perda Kabupaten Bojonegoro No. 4/2004 diperuntukkan sebagai hunian, pada kenyataannya juga digunakan untuk area eksplorasi minyak dan gas. Sepuluh kejadian kebocoran gas dalam rentang 2006-2010 telah menyebabkan warga mengalami permasalahan kesehatan, dan dalam beberapa kasus terpaksa mengungsi. Di Kabupaten Pati, revisi RTRW pada tahun 2008 telah membuka jalan bagi masuknya industri semen ke Pegunungan Kendeng Utara yang merupakan area tangkapan air. Ekspansi perusahaan semen ini, di masa mendatang akan memperbesar resiko terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.

Mengingat hebatnya dampak bencana, baik natural dan man-made, bagi sebuah kawasan/kota, ditambah dengan kenyataan bahwa sebuah bencana biasanya menjadi momen ter-eskspose-nya permasalahan struktural laten seperti kemiskinan dan pemarjinalan sehingga biasanya kaum miskin dan komunitas marginal menjadi kelompok yang paling rentan terdampak oleh bencana, maka salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan metode pengurangan resiko bencana ke dalam perencanaan kawasan/kota.

Meskipun tentu saja terobosan tersebut tidaklah mudah karena terbentur sebuah permasalahan tradisional yang sangat mendasar. Diskusi dan aksi kebencanaan secara tradisional terbangun sangat kuat di kalangan organisasi seperti Search and Rescue (SAR). Sementara itu, perencanaan kawasan/kota secara tradisional berada pada domain pembangungan. Perbedaan domain ini menyebabkan timbulnya perbedaan konsep, prioritas kerja, bahkan terminologi. Lebih ekstrim tak jarang antara kedua kalangan ini malah timbul ketegangan karena kadang-kadang "komunitas bencana" menganggap perencanaan yang buruk dari "komunitas pembangun" adalah pemicu terjadinya sebuah bencana.

Berdasarkan pengalaman di tiga kawasan di atas, setidaknya ada beberapa prakarsa yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan pengurangan resiko bencana industri ke dalam perencanaan kawasan/kota. Pertama, melakukan diagnosis yang tepat terhadap kasus-kasus bencana industri. Agenda ini dapat dikatalisasi dengan melakukan studi yang lebih intensif. Pada dasarnya genealogi bencana industri berbeda dengan bencana alam, karenanya strategi pengurangan resikonya juga berbeda. Peningkatan kapasitas pegawai pemerintah daerah menjadi penting karena sering dokumen Amdal yang seharusnya menjadi salah satu alat pengendali aktivitas industri, hanya menjadi alas belaka dalam sebuah proses penandatanganan dokumen yang lain di meja pejabat. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran pihak pemerintah daerah terhadap arti penting Amdal.

Kedua, mengembangkan perencanaan berbasis lingkungan dan pengurangan resiko bencana yang antara lain dapat diturunkan ke dalam bentuk yang lebih praktis seperti penyusunan RTRW dan Amdal yang partisipatif, menghubungkan kerangka legal perencanaan kawasan/kota dengan perlindungan terhadap lingkungan dan pengurangan resiko bencana, mendukung penyusunan peraturan dengan orientasi pada konten lokal, mendukung proses ‘bottom-up' yang terfokus pada isu pengurangan resiko bencana industri, dan kegiatan promosi terhadap lingkungan yang aman. Terakhir, mensinergikan peraturan daerah yang saling ‘bertentangan'. Kalau ini dapat dilakukan, mungkin mimpi ‘kota untuk semua' tidak hanya sekedar menjadi utopia belaka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline