Beberapa waktu saya membaca berita tentang FGD (Focus Group Discussion) yang selengarakan oleh Badan Akuntabilitas Publik DPD RI di ruang rapat BAP DPD RI Senayan, namun dalam FGD tersebut banyak sekali kesalahan dan ketidak relevansi masalah yang dibahas dengan cara pembahasannya. Mirisnya lagi sekelas Guru Besar Hukum Agraria masih tidak paham apa yang dibahas. Ya, guru besar tersebut bernama Prof. DR. Ny. Arie S. Hutagalung SH, MLI yang mengatakan bahwa grondkaart hanya semacam surat ukur itu adalah pernyataan yang membuat saya malu akan kualitas Profesor di indonesia yang menyampaikan pendapat tanpa mengetahui keilmuan yang sebenarnya.
Narasumber lainnya yang turut hadir dalam FGD tersebut adalah Dr. Kurnia Warman, SH, M. Hum dan Yuli Indrawati, SH, LL.M yang sama-sama tidak memahami keilmuan hukum dan sejarah namun berani mengungkapkan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Dari ketiga pakar hukum yang di undang oleh DPD RI tersebut menyamakan grondkaart dengan peta tanpa mendalami isi unsur-unsur yang terkandung di dalam grondkaart tersebut. Kesalahan dari pakar hukum tidak menyebutkan analisis dan metodologi apa yang digunakan untuk menilai grondkaart. Sebelum mereka menyampaikan pendapat yang terbilang ngasal, seharusnya sekelas pakar hukum sekaligus dosen harus mampu membedakan terlebih dahulu antara sistem hukum dan produk hukum.
Perbedaan dari keduanya adalah jika sistem hukum berubah maka sistem tersebut tidak akan digunakan lagi sedangkan produk hukum sendiri berbeda karena produk hukum itu akan tetap dipakai walaupun sistem hukumnya sendiri telah berubah. Sebagai contohnya adalah akta kelahiran kakek kita. Misalkan kakek kita tercatat dalam akta kelahiran Tahun 1925 itu tetap akan berfungsi meskipun sistem catatan sipil Belanda sudah tidak ada. Nggak mungkin kan akta kakek kita ikut dihapuskan dan tahun lahir kakek kita tercatat pada Tahun 1945 pada saat Indonesia merdeka, Begitu juga dengan grondkaart.
Grondkaart itu tidak salah, namun yang salah adalah caranya menginterpretasikan. Grondkaart adalah produk hukum yang menjadi bagian sistem hukum pada saat itu, dan walaupun sistem hukumnya sudah tidak berganti namun produk hukum tersebut tetap berlaku. Sementara interpretasi yang salah dari ketiga pakar hukum tersebut adalah menginterpretasikan produk hukum yang bukan zamannya, karena para pakar hukum yang belum menguasai materi tersebut menggunakan metodologi interpretasi yang tidak sezaman dengan produknya sehingga semuanya menjadi bias.
Grondkaart merupakan produk hukum masa lalu bukan produk masa kini jadi seharusnya kita harus mengkaji dengan menggunakan metodologi masa lalu (sejarah). Dalam menggunakan metodologi sejarah kita akan melakukan analisis dengan 4 tahapan yakni :
1. Penelusuran Data
2. Kritik Data
3. Interpretasi Data
4. Rekontruksi Dari Hasil Interpretasi Data
Dari keempat tahapan tersebut akan menghasilkan laporan akhir yang nanti akan ditulis berdasarkan hasil analisis interpretasi data. Sedangkan pada interpretasi datanya sendiri dihasilkan berdasarkan dari langkah kedua yakni kritik data. Untuk kritik data sendiri telah dibedakan menjadi dua yakni ekstern, dan intern. Kritik ekstern itu terdiri dari orisinalitas, otentisitas, integritas, dan juga kredibilitas. Sementara untuk kritik intern sendiri terdiri atas konten, konteks, dan struktur.