Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada hari Rabu tanggal 20 Oktober 1999 sebagai presiden RI ke-4 yang dipilih secara demokratis sontak merubah citra dan fenomena kiai dengan sangat drastis. Dunia kiai dan pesantren yang dikenal dunia penuh damai, sopan santun, sumber ilmu, religius dan tertutup berubah image-nya menjadi sangat terbuka dan adaptif terhadap setiap perubahan zaman termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berkat Gus Durlah kiai pesantren, kiai surau, kiai kampung dan guru-guru ngaji menjadi sangat terbuka ngobrol politik. Dimana pada era Orde Baru, jangankan ngomongin politik, berkumpul dalam satu majelis pengajian saja bisa dicurigai sebagai tindakan makar.
Bukan hanya simbol pendobrak kejumudan, Gus Dur telah membuktikan dan menegaskan kepada publik bahwa kiai NU baik di pesantren, mesjid, surau dan pengajian-pengajian memiliki corak keagamaan yang baik dari sisi metodologi pembelajaran yang dikembangkan, madzhab keagamaan yang dianut, pilihan sikap politik bahkan manajemen kelembagaan yang dimilikinya meskipun mereka tinggal dipedesaan.
Gus Dur telah mampu menyadarkan narasi "politik itu kotor" pada kalangan kiai dilevel kultural yang dihembuskan oleh penguasa kala itu supaya kiai tidak terlibat politik praktis. Walhasil, tidak sedikit kiai yang melibatkan diri memberikan keteladanan bahwa politik merupakan jalan menebar manfaat dan maslahat bagi kepentingan masyarakat.
Sangat kuatnya relasi lahir dan batin Gus Dur dengan para kiai (pesantren, mesjid, surau, pengajian-pengajian di pedesaan) terbukti menjadi modal utama beliau memiliki legitimasi mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah politik warga NU yang mendulang 13,3 juta lebih suara pada pemilu 1999 dan kemudian menghantarkannya menjadi top leader negeri ini, sebagai presiden.
Penulis kira, sejak Gus Dur menjadi presiden dan pendiri PKB, pembahasan perilaku politik kiai pada ruang tradisinya secara otomatis telah menghantarkan pembentukan jaringan kultural kepada jaringan fungsional. Kiai menjadi faham bagaimana hubungan timbal balik antara kebutuhan kiai dan kebutuhan NU sebagai jamiyyahnya dan kebutuhan kiai untuk tetap survive mengembangkan institusi yang diampunya ditengah kehidupannya.
Dengan itu, kebutuhan politik baik pemilu legisatif, pemilu presiden, pemilukada dipandang sebagai konsekuensi logis memperjuangkan wasilah demi meraih maslahat untuk kepentingan publik secara lebih luas.
Atas segala prosesnya keterlibatannya, paling tidak kini kita bisa menglasifikasikan sikap politik kiai pada level tradisinya baik itu masuk pada kategori pragmatis, akomodatif, transformatif, dan mereka yang menghendaki prinsip-prinsip Islam ditegakkan.
Dalam konteks PKB, Gus Dur telah melahirkan kesadaran baru, bahwa kiai (pesantren, mesjid, surau, guru ngaji) sebagai jaringan kultural perlu diperkuat dengan jaringan fungsional PKB sebagai bagian terpisahkan dari sistem bernegara. Timbal baliknya, relasi fungsional PKB dengan jaringan kulturalnya harus mewujud dalam manfaat dan maslahat yang lahir.
Gus Dur senantiasa merawat silaturahim dan kedekatan dengan kiai kultural, menurutnya merekalah pilar utama gerakan politik PKB. Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (Masura) yang pernah beliau bentuk adalah wujud bahwa Gus Dur dan PKB tidak mau jauh-jauh dari mereka.
Guru Ngaji