Lihat ke Halaman Asli

Usep Saeful Kamal

Mengalir seperti air

Gus Muhaimin, PKB, dan Hak Rakyat atas Tanah

Diperbarui: 11 Oktober 2019   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Hari Rabu, 4 September 2019 yang lalu penulis membuka situs berita online tempo.co pada laptop tak lama usai jalankan shalat dzuhur. Sambil minum secangkir kopi penulis mendapati berita bahwa Sriwoto, seorang petani asal Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Malang ditetapkan menjadi tersangka oleh Kepolisian Resor Kota Malang pada 29 Agustus 2019.

Status tersangka beliau atas tuduhan berkebun tanpa izin di lahan milik Perum Perhutani Malang. Padahal, pada 15 Maret 2018, ia dan ratusan warga lainnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Maju Mapan telah menerima surat izin perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan SK 944/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL.O/3/2018.

Seperti dilansir tempo.co, konflik bermula pada akhir Agustus 2018. Saat itu, Sriwoto tengah membersihkan ladang kebun miliknya yang ditanami cengkeh, jengkol, dan nangka seluas kurang dari dua hektar di dalam kawasan hutan Perum Perhutani KPH Malang. Ia bersama warga lainnya memang sudah bercocok tanam di kawasan hutan tersebut selama 14 tahun.

Usai membaca berita itu, kening penulis langsung mengkerut sambil bergumam dalam hati, kok bisa ya?. Tidak hanya itu, pada saat yang sama hatipun langsung merasa dongkol, lagi-lagi petani kecil menjadi korban.

Tidak berhenti disitu, memori penulis kemudian flashback (kilas balik) pada kejadian tahun 2000-an yang nyaris sama dimana para petani disebuah desa di Kecamatan Cikatomas Kab. Tasikmalaya dijadikan tersangka dan diadili karena disangkakan menyerobot lahan PTPN VIII dan Perhutani.

Tahun 2018, Buamin seorang petani penggarap lahan Perhutani di Malang dipolisikan karena disangkakan telah mencuri tiga batang kayu Sono Keling yang tergeletak dilahan garapannya karena tidak dilengkapi data kepemilikan yang sah.

Lalu, tahun 2017 tiga petani yaitu Sutrisno, Mujiono, dan Nur Aziz dinyatakan bersalah oleh majelis hakim sebagai buntut dari konflik antara petani Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, dengan Perhutani KPH Kendal yang berujung vonis delapan tahun penjara dan denda masing-masing Rp 10 miliar oleh Pengadilan Negeri Kendal karena dianggap telah menyerobot lahan Perhutani.

Selanjutnya, pada tahun 2016 sebanyak 26 orang petani Desa Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah, telah dipolisikan karena dituding menyerobot lahan. Dimana lahan itu kini jadi sengketa antara PT Semen Indonesia yang telah membeli lahan itu dari PT Sumurpitu untuk tukar guling dari lahan milik Perhutani di Rembang yang menjadi lokasi pembangunan pabrik Semen Indonesia.

Nyaris setiap tahun terjadi kasus yang melibatkan petani dengan Perhutani atau BUMN bahkan swasta yang diberi kewenangan menggarap tanah negara. Sengkarut konflik pertanahan di negeri ini belum mau beranjak dari titik nadirnya. Pertanyaannya, regulasi yang telah ada dan diterapkan itu sebetulnya berpihak kepada siapa?

PKB untuk Petani

Selain karena mayoritas konstituen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah petani didesa-desa, Gus Muhaimin secara personal maupun PKB secara Institusi memiliki hubungan yang baik dengan aktifis NGO yang istikomah berjuang memperjuangkan hak warga negara atas kepemilikan tanah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline