Lihat ke Halaman Asli

Usep Saeful Kamal

Mengalir seperti air

20 Tahun PKB dan Tangan Dingin Cak Imin

Diperbarui: 23 Juli 2018   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pictaram.one/hashtag/Pemimpin

Masih membekas dimemori kepala penulis terkait masa-masa kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tepat 20 tahun lalu penulis dan santri Pondok Pesantren Nurul Hasanah kala itu alami masa-masa ‘riweuh’ menyambut lahirnya partai baru.

Pondok kami berada tidak jauh dari pondok pesantren Cipasung di Desa Cipakat Kec. Singaparna Kab. Tasikmalaya, ya kurang lebih berjarak 100 meter. Terkait persoalan kehidupan masyarakat dan berbangsa kiai kami KH. Oban Hidayat selalu sam’an wa tha’atan kepada almaghfurlah KH. Moh. Ilyas Ruhiat pengasuh ponpes Cipasung kala itu.

Tahun 1996 penulis mulai mondok di pesantren itu dan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Cipasung. Menjelang akhir tahun 1996 penulis mengalami hiruk pikuk terjadinya kerusuhan Tasikmalaya dan ternyata menjadi berita heboh dan menjadi headline koran nasional.

Karena kala itu belum ngerti politik, ternyata kerusuhan Tasikmalaya itu ditenggarai sebagai benih-benih tumbangnya rezim orde baru dengan Soeharto sebagai simbolnya. Karena persis setahun berikutnya akan dilaksanakan hajatan politik lima tahunan, yakni pada tanggal 29 Mei 1997.

Menjelang pemilu tahun 1997, penulis bersama santri lainnya mengalami masa-masa transisi peralihan orde baru menuju orde reformasi. Benih-benih kerusuhan Tasikmalaya tahun 1996 masih belum mati, bahkan berlanjut ke masa-masa kampanye partai politik.

Pemilu yang hanya diikuti tiga partai itu, yakni: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia. Ponpes Cipasung yang kala itu masih Golkar, pernah mengalami lemparan batu dari sejumlah masa kampanye PPP. Nyaris terjadi rusuh masa susulan, karena disaat bersamaan kedua partai itu melakukan kampanye.

Rupanya pemilu 1997 itu merupakan kali terkahir bagi penguasa rezim Orde Baru meskipun Golkar kala itu masih memenangi Pemilu. Pada saat yang sama rupanya telah muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap “kelaliman” rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun.

Di tahun itu, kami santripun seolah memiliki acara favorit baru di televisi, yakni berita politik. Setiap kali  usai makan sore di dapur umum, kami pun selalu memadati rumah warga yang rela rumahnya dijadikan tempat nonton televisi.

Pembicaraan masalah politik pun setiap hari nampaknya menyaingi masalah lain seputar pelajaran kitab kuning dan pelajaran lainnya di pondok. Endingnya, tanggal 21 Mei 1998 kami pun bersorak soray usai saksikan layar televisi terkait Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Terjadilah pergantian kepemimpinan nasional oleh BJ. Habibi yang kemudian diberikan mandat konstitusi untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1998. Walhasil, Ponpes Cipasung dan pesantren sekitarnya yang tadinya Golkar, beralih mempersiapkan berganti baju Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Masih tersimpan dimemori penulis, isu pembubaran partai Golkar sebagai bagian tak terpisahkan dari rezim orde baru terus menggelora ditengah masyarakat, meski melahirkan pro dan kontra, termasuk ditengah santri. Entah atas dorongan siapa, beberapa santri yang sudah memiliki hak pilih terlibat perdebatan apakah ikut kampanye Golkar atau ikut kampanye partai lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline