Lihat ke Halaman Asli

Keajaiban di Pegunungan Andes

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Raihlah kehidupan. Raihlah setiap momen. Jangan sia-siakan setiap embusan napas.” Kehidupan kadang berhias dengan keajaiban. Apakah kamu bisa percaya ada sekelompok orang yang mampu bertahan lebih dari dua bulan di tengah ganasnya Andes, pegunungan tertinggi kedua di dunia, tanpa bekal dan perlengkapan memadai? Rasanya hampir mustahil bisa terjadi. Tetapi nyatanya keajaiban luar biasa seperti itu ada. Jika masih sangsi, silahkan bertanya pada 1 dari 16 anggota tim rugby Uruguay yang mampu mempertahankan diri dari bekunya Pegunungan Andes selama 72 hari! Kisah luar biasa tersebut saya temukan dalam buku bersampul putih dengan judul Miracle in the Andes. Memang ini buku lawas, cetakan tahun 2007. Buku tersebut saya pinjam dari perpustakaan kantor belum lama ini. Awalnya saya tidak menyangka isinya ternyata begitu menggetarkan. Alhasil, saya berjanji akan segera membeli sendiri buku ini dan menempatkannya bersama buku-buku kesayangan lainnya pada rak buku di rumah. Pengarang buku ini adalah Fernando Seler “Nando” Parrado, salah satu korban selamat dari insiden mencengangkan itu. Nando berhasil mengisahkan ulang kisah inspiratif tersebut dengan detail, runtut, penuh karakter dan sekaligus menyentuh. Saya dibuat tenggelam ke dalam cerita dan tahu-tahu 366 lembar halaman buku habis saya lahap. Cerita luar biasa tersebut bermula dari kecelakaan pesawat Fairchild pada 13 Oktober 1972. Pesawat dicarter tim rugby Uruguay yang akan bertanding ke Chile. Di tengah perjalanan, pesawat yang mengangkut 45 orang itu jatuh di Pegunungan Andes, tempat ganas yang berselimut salju abadi. Setelah jatuh, hanya 32 penumpang yang diketemukan hidup. Namun insiden longsoran salju dan luka sebagian penumpang yang semakin parah membuat korban bertambah. Akhirnya hanya 16 orang yang akhirnya mampu bertahan dan keluar dari neraka Andes. Bagaimana mereka bisa keluar dari tempat antah berantah dalam situasi yang begitu sulit? Di situlah inti memoar Nando. Tentang perjuangan hebat yang mampu mengubah hal yang nyaris mustahil menjadi mungkin. Momen sesaat setelah pesawat jatuh begitu mencekam. Nando tak sadarkan diri selama tiga hari dan ketika sadar dia mendapati ibunya, yang ikut dalam rombongan itu sudah meninggal. Adik perempuannya, Susy, sudah sekarat dan akhirnya juga meninggal. Kondisi mereka begitu sulit. Tanpa bekal memadai, para korban selamat dipaksa menghadapi udara dingin Pegunungan Andes yang begitu mematikan. Tidak ada pilihan tempat berlindung selain puing-puing pesawat yang tak banyak membantu. Nando dan teman-temannya berusaha bertahan dengan melakukan apapun yang mampu dilakukan. Mereka berharap pertolongan akan segera datang. Tapi kenyataan berkata lain... Tepat di hari ke-10 setelah pesawat Fairchild dinyatakan hilang, proses pencarian resmi dihentikan. Kabar buruk itu sampai ke telinga para korban melalui radio pesawat. Semangat mereka pun langsung melorot ke titik nadir. Pada akhir Oktober, pukulan bertambah berat ketika longsoran salju membuat korban selamat menyusut jumlahnya. Kondisi mereka semakin tertekan karena tak kunjung mendapatkan titik cerah. Yang terjadi malah cobaan tak kunjung habis. Salah satu konflik menarik yang muncul adalah ketika mereka kehabisan bahan makanan. Pegunungan Andes sama sekali tanpa alternatif makanan. Mereka sampai pada titik hanya memiliki opsi memakan daging manusia dari mayat teman-teman sendiri. Dilema yang sangat luar biasa. Setelah melalui perdebatan sengit dengan mengemukakan berbagai argumen masuk akal, mereka pun akhirnya menyambar pilihan tunggal itu. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya! Unbelievable! Tapi tak semua anggota rombongan setuju. Beberapa orang ngotot pilih kelaparan daripada harus memakan daging manusia. Tindakan yang rasanya kejam, namun sangat rasional. Penderitaan tanpa ujung itu berakhir di hari ke-72. Setelah menghabiskan dua bulan terjebak di sepinya pegunungan Andes dan bertahan hidup di bawah titik beku, Nando berdua dengan Roberto Canessa berjuang menantang batas kemampuan. Mereka mendaki gunung selama 10 hari, dengan bekal dan peralatan sederhana, mencari pertolongan dan akhirnya berhasil. Mereka berdua bertemu seorang penggembala sapi di daerah Chile, yang membuka jalan misi penyelamatan. Sebanyak 16 orang berhasil diselamatkan. Kisah inspiratif mereka menarik perhatian di seluruh penjuru dunia. Seperti kisah mustahil namun nyata. Apa pelajaran moral yang bisa dipetik dari buku indah ini? Nando dan rekan-rekannya ingin menunjukkan bahwa kegigihan bisa membuat miracle is achieveable. Namun kegigihan saja tidak cukup. Dibutuhkan kekompakan, rasa saling percaya, semangat untuk selalu bekerja keras dan berkorban. Tak lupa disertai dengan cinta. Ya, cinta itulah yang membantu Nando tegar melewati seluruh kesulitan. Cinta dari keluarganya (ayah, kakak perempan dan neneknya di rumah), cinta ibu dan Susy yang sudah meninggal dan cinta dari teman-temannya. Selama di gunung, Nando merasa hanya cinta yang menyatukannya dengan kehidupan dunia. Keberanian dan kepandaian tak menyelamatkan hidupnya. Dia merasa tak memiliki keberanian dan kepandaian, sehingga menyandarkan keyakinan pada cinta untuk ayahnya dan masa depan. Itulah kunci utama yang membuatnya mampu bertahan dan menentang kemustahilan. “Bernapaslah. Bernapaslah lagi. Dengan setiap tarikan napas, kamu akan hidup”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline