Lihat ke Halaman Asli

Biogas untuk Kesejahteraan Peternak

Diperbarui: 9 Oktober 2017   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Biogas merupakan salah satu energi terbarukan yang sedang tumbuh di Indonesia. Sejak pemerintah menandatangani kesepakatan pengadaan reaktor biogas dengan HIVOS dan EnDev, non goverment organizationasal Belanda, terdapat peningkatan penggunaan reaktor biogas untuk menangani limbah kotoran sapi perah. Sapi perah menjadi komoditas pertama yang dimanfaatkan secara masif untuk penggunaan reaktor biogas tersebut. Ini terjadi karena beberapa faktor yang mendukung ketersediaan umpan berupa kotoran sapi.

Seekor sapi perah mampu mengeluarkan kotoran sebanyak 20 kg per hari. Data Badan Pusat Statistika tahun 2016 menyebutkan jumlah sapi perah di Indonesia mencapai 533.860 ekor yang tersebar dengan metode beternak yang berbeda. Populasi tersebut terkonsentrasi pada provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai 3 provinsi terbesar penyumbang jumlah sapi perah nasional. Kebanyakan sapi perah di pulau Jawa dikumpulkan pada satu tempat, sehingga tidak sulit mengumpulkan kotoran sapi. Berbeda dengan daerah timur yaitu Sulawesi dan Maluku yang membebaskan sapi untuk makan sendiri.

Potensi tersebut apabila dimanfaatkan menjadi keuntungan yang besar untuk negara. Menurut data panduan biogas (UN, 1984) 1 m3 kotoran basah sapi perah dapat menghasilkan 0.022-0.024 m3biogas. Pada sumber yang sama, diklaim bahwa 1 m3 biogas setara dengan 0.465 kg elpiji. Apabila kita menghitung potensi kasar yang ada, dengan mengalikan biogas yang dihasilkan dengan jumlah sapi perah yang ada dan mengonversinya menjadi elpiji, maka perhari setara dengan 110.074 kg elpiji. Ini belum menambahkan potensi dari kotoran sapi potong, ataupun peternakan-peternakan lainnya. Angka besar tersebut juga dapat dijual sebagai carbon credit untuk industri-industri yang kelebihan emisi CO2. Nilai plus lainnya adalah pada kotoran sapi rasio C/N berkisar 10-25 sehingga cocok untuk kehidupan bakteri pembentuk biogas, sehingga tidak diperlukan lagi aktivator tersendiri

Biogas sendiri merupakan produk dari proses fermentasi anaerobik dari material organik yang terdegradasi (Sorathia et.al., 2012). Biogas terbentuk melalui 4 proses penguraian yaitu hidrolisis molekul besar, acidogenesis atau pembentukan asam-asam yang lebih sederhana, asetogenesis atau pembentukan asam asetat, kemudian metanogenesis atau pembentukan metana dan produk sampingnya. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam fermentasi anaerobik yaitu rasio C/N, suhu operasi, Ph operasi, laju pengumpanan, kondisi anaerobik, kadar air dan keberadaan starter.

Biogas juga merupakan solusi atas permasalahan lingkungan daerah peternakan sapi. Himatek ITB melalui divisi community development terjun langsung ke masyarakat membawa teknologi tersebut untuk menjadi bagian dari solusi lingkungan dan ekonomi mereka. Reaktor yang digunakan berjenis upflow anaerobic sludge blankettanpa pengaduk. Prosesnya pun cukup sederhana, yaitu memasukkan kotoran sapi dan air pada suatu ember pengadukan yang terhubung pada reaktor biogas. Penampung gas, tempat fermentasi, dan tempat limbah tergabung menjadi satu reaktor yang disekat, sehingga meminimalisasi penggunaan lahan.

Pada awalnya desa Ciporeat ditemukan oleh Teknik Kimia angkatan 2011. Kondisinya kala itu sangat memprihatinkan, ditandai dengan bau kotoran sapi di sungai yang mengalir hingga pasar ujung berung. Mahasiswa yang melakukan survei, akhirnya menentukan solusi yang dapat diterapkan untuk meminimalisasi pembuangan kotoran sapi dan dimanfaatkan dengan proses kimia. Hal ini lah yang menjadi alasan dijalankannya program reaktor biogas di desa Ciporeat.

Ada sebuah evaluasi mendasar ketika masalah dan solusi ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan warga desa setempat. Kala itu, pemasangan reaktor ditawarkan kepada masyarakat disana, namun tidak ada yang mau dipasang alat tersebut. Banyak keluhan seperti takut meledak, tidak ada lahan, malas untuk pengisian, ketakutan kerusakan peralatan, sehingga kita sulit untuk menentukan lokasi penanaman. Kesalahan yang dirasakan adalah ketika kita tidak melibatkan masyarakat dalam menghadirkan permasalahan yang ada dan memunculkan solusi. Pada akhirnya teknologi yang kita bawa bukanlah keinginan dari masyarakat dan tidak akan diterima sebagai sebuah solusi. Beruntungnya masih ada satu warga yang mau menerima pemasangan reaktor dan ini menjadi cikal bakal pemasangan di tempat-tempat lainnya.

Keberhasilan dan manfaat dari reaktor biogas dirasakan dan terdengar oleh masyarakat lain. Mulailah masyarakat antusias untuk mendapatkan reaktor "gratis" yang didapatkan tanpa ikatan atau MoU. Inilah kemudian yang menghasilkan mindset ketergantungan kepada pemberian pihak luar, membuat daya juang untuk membeli, menabung maupun menemukan solusi lain menjadi berhenti. 

Idealnya, sebelum dijalankan program harus ada kesepakatan dengan masyarakat sesuai dengan apa yang ditargetkan panitia. Kalau aspek kemandirian dan sustainbilitas yang dikejar, maka sebenarnya banyak solusi yang dapat diterapkan, misal arisan bioreaktor dengan subsidi dari mahasiswa, pemilihan peternak yang lebih diproritaskan dengan syarat tertentu, atau mekanisme lainnya yang melibatkan aspirasi warga dalam keberjalanan program. Kesalahan fatal pula, menyerahkan pemasangan reaktor biogas pada satu orang yang bersifat otoriter dan memanfaatkan program untuk mendulang keuntungan.

Kondisi terkini di desa Ciporeat 4 dari 8 reaktor masih berjalan optimal. Reaktor yang masih beroperasi juga menemui kendala seperti saluran bio-slurry macet, badan reaktor rusak, dan masalah minor-minor lainnya. Residu bioreaktor berupa bio-slurrykebanyakan langsung dialirkan ke perkebunan rumput masyarakat. Dahulu sempat ada pengolahan vermikompos dari kotoran sapi, namun permintaan yang terus menurun menyebabkan stok berlebih dan akhirnya produksi dihentikan.

Beberapa desa di kawasan Lembang, pengelolaan limbah sudah mulai diperhatikan melalui suntikan program pemerintah. Program biogas BIRU dari ESDM yang menumpang pada koperasi susu menyediakan reaktor dengan model beton dan dapat dibuat dengan mekanisme cicil. Harga reaktor tersebut akan dilunasi dalam waktu 5 tahun dan ditagih tiap bulannya dengan mengurangi pemasukan setoran susu. Konsep seperti ini memudahkan masyarkat dalam mengadakan reaktor biogas yang tidak murah ( satu reaktor berharga 5-7 juta) dan mengurangi pengeluaran mereka untuk pembelian elpiji. Di beberapa tempat, residu bioreaktor dikelola langsung untuk menjadi pupuk kascing baik oleh pribadi maupun pihak lain yang konsentrasi pada usaha pengelolaan pupuk kascing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline