Lihat ke Halaman Asli

Devy Arysandi

Remahan Rakyat

Malam Iba yang Menjemput Rindu

Diperbarui: 10 Agustus 2023   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tuhan jika ada kesempatan kedua untuk memeluknya kembali, mungkin aku akan datang dan setia menunggu di persimpangan jalan ini. Namun, rupanya engkau enggan untuk memberikan kesempatan kedua itu karena sebenarnya itu bukanlah kesempatan kedua, melainkan kesempatan yang selalu diberikan untuk aku yang tidak pernah mau bersyukur...

Malam akan selalu menjadi kebahagiaan untuk rasa lelah yang membungkam diri untuk tidak berkata "Menyerah". Ia yang selalu hadir menemani kesendirian di kala rasa terlepas dari jiwa, saat hati terlihat jijik melihat tingkah laku makhluk yang selalu angkuh dengan dunianya. Sekutip kata yang sangat mendeskripsikan seorang "Aku" manusia yang selalu merasa benar tanpa pernah mengaku salah. Maaf... jika keberadaanku membuat rasa sakit yang teramat dalam pada ketulusan hatimu. Maaf... 

Hari ini menjadi hari kesekian yang dilalui tanpa adanya dirimu di sisiku, menikmati keindahan malam yang dahulu selalu kita lalui bersama. Menyusuri liku perkotaan di tanah kelahiran seribu umat manusia. Kota yang kini tidak lagi menjadi ibu, tapi tak jua lekang meski dimakan peradaban usia. Rupanya kota ini masih menjadi primadona untuk setiap pasang mata yang menjajakan pandangannya pada kemewahan yang ada pada lekuk tubuhnya, Jakarta itulah namanya. 

Kota ini adalah saksi bersejarah untuk kita yang berlainan darah dan berbeda latar belakang, berbeda sifat juga tabiat. Aku yang selalu merasa sepi dan sendiri dipertemukan oleh waktu dengan sosok penyabar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Laki-laki kedua yang masuk ke dalam kehidupanku setelah sebelumnya aku kehilangan laki-laki pertamaku. Akan tetapi, rasa trauma yang ada dalam diri ini rupanya begitu besar, sampai-sampai mataku telah buta oleh kebencian dan telingaku telah tuli oleh kebohongan. Akhirnya, dirimu juga yang menjadi pelampiasan rasa sakitku ini dan akulah yang menggoreskan luka di hatimu bahkan mungkin saja tidak pernah akan sembuh. 

Meskipun begitu, tidak pernah sekalipun dirimu marah dan membenciku, bahkan menghardikku pun tidak pernah kau lakukan. Hanya tersenyum dan memilih diam untuk tidak melukai hati dan perasaanku ini. Hingga aku larut dalam pembenaran di atas kesalahan yang telah aku lakukan, tapi dirimu tetap setia menemani langkahku yang tertatih. Menopang ragaku dengan seluruh tubuhmu, padahal kakimu tidak lagi sempurna kala itu. Sampai pada detik ini, aku mengucapkan terima kasih untuk kesempatan yang diberikan untukku, aku begitu beruntung dapat mengenal sosok yang telah pergi sepuluh tahun yang lalu itu. 

Tiada hal yang paling indah dari buah kepercayaan

Kesabaran yang sederhana dari temaram yang indah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline