Lihat ke Halaman Asli

Devy Arysandi

Remahan Rakyat

Ketika Aku Berbicara Soal Cinta

Diperbarui: 31 Maret 2022   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta sebuah kata penuh makna dan rahasia, ada kala suka dan duka yang menggantungi pundaknya. Kadang dirindukan, tapi amat menyakitkan untuk saling berbalas pesan atau sekadar salam dan sapa. Cinta itu hanya milik sebagian orang yang "sama", mereka yang punya hati dan kemampuan untuk merasakan apa itu cinta. Lain halnya dengan hati yang sulit untuk melupakan sebuah luka, terlebih luka yang telah bernanah dalam raga dan jiwanya. Sehingga, ia memerlukan lagi sebuah cinta karena cinta hanya menjadi awal dari luka yang baru dan mampu mengorek luka lama yang terdalam.

Meskipun, indah terdengar dan amat sayang untuk dilupakan. Cinta terlalu rumit untuk diartikan, ia terlalu tamak akan pengakuan, janji, dan komitmen yang tidak akan pernah ada dan tidak mungkin untuk menjadi yang pertama. Sebagaimana sekuntum bunga yang mekar di taman, akan layu dan terjatuh tertiup angin. Ketika jatuh, bunga tidak lagi menjadi ratu untuk para lebah dan kupu-kupu. Melainkan, menjadi sampah yang akan diinjak oleh kaki-kaki serakah manusia. Lantas, di mana letak sebuah cinta yang sesungguhnya?

Mengawali kisah pilu yang mendramatisir keadaan, aku seorang anak yang lahir di tengah keluarga bahagia. Iya bahagia pada awalnya, sebelum direnggut oleh kebohongan dan ketidakpercayaan yang tumbuh beriringan denganku. Tepat setelah pergantian tahun, aku yang kini telah berumur 20 tahun, lahir ke dunia. Sama dengan bayi pada umumnya yang menangisi hari kelahiran pertamanya di muka bumi. Menggertakan mulut kecil yang kedinginan dan badan yang masih berlumuran darah. Tali pusar yang panjang masih bergelayutan ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya dipotong dan dikubur. Mungkin, saat itulah hidupku di mulai melalui tangan alam dan skenario dari Tuhan.

Sejak hari itu, umurku semakin bertambah dari hari, bulan, dan menginjak tahun yang baru di setiap perayaan tahun baru. Aku tumbuh menjadi sosok anak kecil yang periang dan gemar bermain dengan teman-teman sebayaku. Setiap kali bermain, mereka selalu menjagaku agar tidak terluka saat berlari atau menangis ketika tidak mendapatkan sesuatu yang kuiinginkan. Alhasil, aku menjadi anak yang manja dan terbilang egois terhadap kehendakku sendiri. Kerap kali aku merasa lebih unggul dan menyombongkan diri di hadapan teman-temanku yang lain. Akan tetapi, jauh daripada itu aku sangat menyayangi mereka.

Kebahagiaan itu berlanjut sampai aku tumbuh remaja, di saat semuanya masih terbiasa dengan keadaan dan aku masih menjadi aku yang ceria. Sampai suatu ketika, usai itu datang menghampiri. Perceraian kedua orang tuaku dan pernikahan kedua mereka, menggariskan takdir hidupku yang berbeda. Aku tidak lagi menjadi anak yang periang dan cerita di waktu dulu. Melainkan, menjadi pribadi yang dewasa dan tertutup dari sebuah kenyataan.

Tanpa ada sebab, akibat itu tiba-tiba datang kepadaku. Mengetuk pintu hatiku yang sengaja kubuka untuk berbagi kebahagiaan, ditutup kelam kegelapan. Keadaan berubah menjadi sepi dan sunyi, hanya tinggal hampa yang mengisi ruang hati. Pemikiranku tentang cinta, berubah sejak hari itu, tidak ada lagi cinta yang bisa kupercaya karena satu persatu rahasia yang menyakitkan, membunuh rasaku secara perlahan. Mungkin, aku masih mampu untuk tersenyum untuk menyembunyikan kesedihan yang tak mampu diwakili dengan air mata.

Kebencian dalam diriku terhadap sebuah cinta, semakin menjadi dan merasuki alam bawah sadarku. Bahwa, tidak ada kata "bahagia" yang sebenar-benarnya, yang ada hanya tipu yang mampu memanipulasi keadaan. Bahkan, rasa pun tak mampu disisakan lagi untuk buah cintanya yang selama ini dijaga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline