Lihat ke Halaman Asli

Devy Arysandi

Remahan Rakyat

Sekelumit Kisah Pilu di Pelupuk Kota Bandar Lampung

Diperbarui: 25 September 2021   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri Pengmas HMSE ITERA

Kesenjangan sosial masih menjadi persoalan utama bagi mereka, segelintir orang yang harus menelan pil pahit kehidupan yang membatasi kasta antar sesamanya. Perbedaan bumi dan langit, sangat terlihat melalui potret kecil yang kami temukan lepas kemarin. 

Di Kota Bandar Lampung, Ibu Kota Provinsi Lampung yang masih menyimpan sederet cerita penuh pilu dari tangan-tangan yang legam hitam terbakar panas matahari. 

Selepas petang, masih harus ditimpa angin malam yang enggan memberikan sedikit kehangatan melalui lembaran uang receh dan uang logam yang mengisi saku. Atau mungkin, melalui sebungkus nasi berlauk seadanya yang lebih mirip dengan makanan sisa yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

Tapi lagi-lagi, kami belajar dari cerita bagaimana menghargai hidup dan karunia Tuhan yang masih dititipkan sampai saat ini. Harta, kedudukan, jabatan, atau kehormatan bukan hal yang mereka cari sehari-hari. Hanya bermodalkan karung bekas dan gerobak berpapan triplek lah mereka mengukir ceritanya. 

Pasar dan jalanan menjadi tempat mereka bernaung, sekadar melepas penat dan rindu kepada keluarga yang jauh dari jangkauan. Sesekali mereka mampu untuk mengeluh, tapi keadaan sepertinya tidak mau memberikan kesempatan untuk mereka menangis. 

Padahal, dari sorot matanya, rasa lelah dan kantuk sudah mewarnai kedua korneanya, bahkan garis merah telah menyemburat di sudut matanya.

Namun, semangat dan senyumnya masih menyembul dari garis bibirnya untuk tetap terpancar. Tidak ada harapan yang istimewa dari mereka, hanya kepastian untuk bukti dari janji yang selama ini diagungkan. Perjalanan mereka kadang tersendat karena adanya pembersihan "sampah masyarakat", yang dikatakan mengotori wajah kota. 

Bukan hanya sekali dua kali kejadian itu terjadi, berkali-kali mereka harus menerima sebutan sarkas tersebut dari petugas ketertiban masyarakat. 

Sepertinya, telinga mereka sudah cukup kebal dengan kata-kata semacam itu yang dianggap sebagai angin lalu di tengah keramaian kota. Selepas pengangkutan, gerobak dan barang-barang milik mereka akan disita petugas. 

Alih-alih ingin membantu, mereka diharuskan menebusnya dengan harga yang fantastis, terbilang 300 ribu rupiah. Harga yang harus dibayarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka dapatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline