Lihat ke Halaman Asli

Devy Arysandi

Remahan Rakyat

Regenerasi Energi Nuklir sebagai Tombak Utama Menciptakan Negeri Mandiri Energi

Diperbarui: 31 Agustus 2021   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan data RUPTL 2015-2024 dari PT PLN sebagai pemasok utama listrik di Indonesia, diketahui telah terjadi peningkatan kebutuhan listrik sebesar 9,04% pertahun sampai akhir tahun 2014. Sementara itu, kapasitas pembangkit untuk menyuplai pasokan listrik dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih terpusat di daerah Jawa dan Bali. Hal ini menunjukkan pemetaan dalam pemenuhan kebutuhan listrik yang belum merata dan menyeluruh di berbagai daerah, terutama untuk daerah 3T. Sehingga, diperlukan penambahan pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan tambahan sampai tahun 2025 sebanyak 108 GW, sebagai perwujudan pemenuhan program pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW oleh Presiden RI.

Namun, masih terdapat kendala lain dalam proses pembangunan pembangkit listrik yang diusulkan tersebut, khususnya PLTP yang selama ini dicanangkan sebagai sumber energi terbarukan. Sebab, jarak suplai yang dinilai terlalu jauh dari cadangan energinya untuk dialirkan ke pusat beban, sehingga PLTP belum dapat dimasukkan ke suatu sistem untuk diorganisir lebih lanjut. Sementara itu, penggunaan batu bara sebagai bahan bakar masih menjadi pilihan utama untuk mengoperasikan pembangkit listrik di Indonesia, salah satunya pada PLTU. Padahal, cadangan batu bara saat ini sudah semakin menipis. Mengingat angka ketergantungan energi konvensional, terutama batu bara dan minyak bumi yang diperkirakan akan terus meningkat seiring waktu. Selain itu, pengaruh penggunaan energi konvensional sangat buruk bagi lingkungan jika tidak segera ditanggulangi karena menghasilkan emisi gas karbon berlebih yang dapat menyebabkan efek rumah kaca.

Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan untuk membangun PLTN sebagai solusi pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Pembangunan tersebut ditujukan sebagai riset penelitian, sekaligus dalam rangka Ketahanan Energi Nasional. Dimulai pada tahun 1954 Indonesia mulai melakukan penelitian tentang tenaga nuklir. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk mengkaji pembangkit listrik tenaga nuklir. Serta, penelitian medis, pertanian, dan kebutuhan pangan yang menggunakan energi nuklir. Akan tetapi, sempat terhenti karena adanya penemuan ladang gas di Kepulauan Natuna pada tahun 1997 dan baru diangkat kembali pada tahun 2005. Meskipun, sejauh ini rencana tersebut masih menjadi perdebatan karena alasan keselamatan kerja dan radiasi nuklir yang dikhawatirkan dapat mengancam kehidupan manusia.

Sebenarnya, prinsip kerja PLTN hampir sama dengan prinsip kerja PLTU yang sama-sama menggunakan siklus uap. Perbedaannya terletak pada penggunaan bahan bakar dalam proses kerjanya, PLTU masih menggunakan batu bara. Sedangkan, PLTN sudah menggunakan sistem nuklir yang beroperasi dalam reaktor atau yang lebih dikenal dengan nama Nuclear Steam Supply System (NSSS). NSSS yang umum digunakan dalam PLTN adalah jenis Pressurized Water Reactor (PWK) dan Boilling Water Reactor (BWR).

Kedua reaktor tersebut telah lama digunakan di berbagai negara yang menggalakan pembangunan PLTN. Dalam pengoperasiannya, reaktor tersebut menggunakan bahan bakar uranium dengan melalui pendinginan air di akhir prosesnya. Selain itu, masih terdapat jenis reaktor yang tidak melalui pendinginan air, yakni Malt Salt Reactor (MSR).

Kelebihan dari jenis reaktor ini adalah tingkat keamanannya yang lebih menjamin karena reaksi fisi terjadi pada tekanan 1 atm dan tidak menyebabkan ledakan. MSR menggunakan sistem epitermal untuk menghasilkan spektrum neutron termal dengan bahan bakar thorium. Bahan bakar jenis ini dapat mengalir melalui saluran intigrafit untuk memproduksi spektrum panas. Panas tersebut kemudian dikonversi menjadi daya. Penemuan MSR ini merupakan hasil perkembangan PLTN ke-IV yang bertujuan untuk mengusung aspek keberlanjutan, ekonomis, dan keselamatan serta keandalan.

Hal tersebut, sudah dapat dikatakan landasan pokok dalam merealisasikan PLTN di Indonesia. Dalam segi ekonomi, PLTN dapat memberikan keuntungan dalam hal operasional dibandingkan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar. Dengan perhitungan 1 gram uranium yang digunakan untuk memproduksi energi listrik setara dengan penggunaan 3 ton batu bara ataupun 2.000 liter minyak bumi. Selain itu, dalam hal investasi pembangunan reaktor nuklir dapat memperkecil biaya dibandingkan dengan pembangunan PLTS atau PLTB yang dapat menghabiskan ratusan triliyun untuk biaya tanahnya saja.

Dari sisi keselamatan PLTN memiliki tingkat kematian lebih rendah, yakni 0,4 kematian. Sedangkan, PLTU menempati posisi paling tinggi, yakni 161 kematian setiap watt jam energi. Hal ini berdasarkan kemajuan teknologi PLTN yang diusung menggunakan peralatan yang lebih canggih. Setelah berkaca dari kecelakaan PLTN, pada kasus Cherynobyl pada tahun 1971-1977 yang disinyalir terjadi karena kelalaian teknis desain dan faktor manusia yang tidak memperhatikan keselamatan kerja. Hal serupa, sebelumnya juga pernah terjadi pada kasus Fukushima dalam kurun waktu 1967-1971.

Selanjutnya, dari aspek lingkungan PLTN merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Jika dibandingkan dengan PLTU yang menyebabkan radiasi sampai 5,00 mSv/Th, PLTN hanya menyebabkan radiasi pada angka 0,05 mSv/Th pada saat kondisi normal. Hal ini juga dibuktikan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang terkait kasus Fukushima. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan paparan radiasi kepada pengungsi masih di bawah 10 mSv sebagai tetapan batas aman radiasi. Selanjutnya, pada tahun 2012 dilakukan pemeriksaan kembali oleh Hirosaki University yang menunjukkan hasil penurunan signifikan berkisar 3,5-4,2 mSv.

Penggunaan nuklir pada PLTN sangat berbeda dengan penggunaan dalam hal pembuatan bom atau senjata nuklir selama ini. Maka, pemikiran akan bahaya ledakan nuklir, seperti bom Hiroshima dan Nagasaki adalah suatu kesalahan besar. Sebab, jika ditinjau lebih lanjut paparan radiasi nuklir cenderung lebih rendah dibandingkan radiasi peranglat elektronik, seperti televisi, handphone, dan alat-alat kesehatan yang beredar. Hal ini perlu digaris bawahi untuk menghapuskan stigma negatif akan bahaya paparan radiasi dari energi nuklir yang selalu menjadi alasan utama untuk menolak pembangunan PLTN di Indonesia.

Masyarakat sudah seharusnya memberikan kepercayaan kepada pemerintah demi kepentingan bersama. Sebab, pemerintah sendiri telah membentuk lembaga yang bertugas mengawasi perkembangan tenaga nuklir di Indonesia, di bawah pengawasan BATAN, yakni BAPETEN. Untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dan instansi terkait yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan pembangunan PLTN.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline