Rasa itu telah menorehkan luka pada hati, setelah semua diberikan padanya. Hati tak sanggup lagi berdiri dan ia memilih untuk tenggelam dalam larutan luka yang berdarah.
Jakarta di awal tahun, setelah kemeriahan kembang api di puncak menara emas disertai suara petasan yang lebih terdengar seperti suara dentuman, tiga hari yang lalu. Semoga tahun ini kiranya dapat memberi sedikit warna pada hidupku. Setelah tahun-tahun lalu kubiarkan pergi begitu saja, akhirnya aku bisa menghirup udara ini kembali.
Aku mulai menjalani rutinitas yang kutinggalkan setelah libur tahun baru kemarin, sebagai seorang penyiar radio di salah satu stasiun radio swasta. Pagi-pagi sekali mama sudah membangunkanku dari mimpi tadi malam, aku sendiri tidak tahu aku bermimpi apa saja, yang kuingat hanyalah wajah mama yang tiba-tiba terbayang.
Wanita paruh baya yang telah menemani hidupku selama 25 tahun, kurang lebih setengah dari masa hidupnya, ia habiskan untuk membesarkanku seorang diri. Setelah kepergian papa yang mendadak karena serangan jantung, mama berusaha menjadi sosok figur seorang ibu sekaligus ayah untukku.
Hanya untukku mama bertahan hidup, itulah jawaban yang selalu mama lontarkan setiap kali ada orang yang bertanya padanya. Bukan perkara mudah untuk mama bertahan hidup, banyak sekali rintangan yang menerpa, tapi mama tetap bertahan. Lagi-lagi untukku, katanya.
Kedekatan antara aku dan mama memang belum terjalin dalam waktu yang lama. Baru sekitar beberapa bulan kami dekat secara intens, sebelumnya? Ya, begitulah.
Semua itu, terjadi lantaran kesalahanku sendiri. Itu pula yang membuat diri ini tidak bisa memaafkan aku sepenuhnya, terlebih kekeliruan ini juga yang menyebabkan papa pergi untuk selamanya. Dulu, aku begitu egois dan kekanak-kanakkan.
....
Hari senin adalah hari pertamaku masuk ke sekolah mengenakan seragam putih abu-abu. Setelah seminggu yang lalu aku melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah yang membuat diri ini lelah seharian. Suasana baru di sekolah impianku ini membuat aku tidak sabar untuk beranjak dari perebahan.
Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi, ternyata masih beberapa jam lagi. Aku yang kebingungan karena ketidaksabaran ini, akhirnya termenung di atas tempat tidur sambil mengarahkan pandangan ke arah jarum jam yang bergerak perlahan. Tak terasa, mata ini ikut kelelahan dan memilih untuk terpejam kembali.
Sinar pagi yang hangat masuk ke dalam kamarku menembus tirai-tirai hordeng jendela yang tersapu hilir angin. Semerbak aroma masakan yang sudah tidak asing bagi penciumanku ini, membuat aku terbangun karena perutku menggerutu minta diisi. Nasi goreng spesial lengkap dengan telur mata sapi yang siap memanjakan pagi yang ceria ala koki handal kami, yaitu mama.