Letusan Gunung Krakatau mungkin sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat dunia, khususnya masyarakat Indonesia yang berada di Pulau Sumatera. Letusan yang terjadi pada tahun 1883 ini merupakan letusan terdahsyat sepanjang sejarah karena kekuatannya setara dengan 1000 bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Dampak letusan gunung ini sampai dirasakan oleh Jepang bahkan pesisir Amerika. Sisa letusan yang dapat dilihat adalah terbentuknya 4 pulau kecil dan yang masih aktif hanya Pulau Gunung Anak Krakatau yang dapat tumbuh setinggi 6 meter tiap tahunnya. Di sisi lain, ketika mengulik ke sejarahnya ada sebuah teori yang berkembang, yakni dikatakan terdapat sebuah gunung api purba yang konon karena letusannya menyebabkan terpecahnya Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Sebagian ilmuan percaya, dahulu terdapat sebuah gunung api purba meletus dan berada di suatu kawasan yang saat ini menjadi Selat Sunda sebagai pemisah antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Teori ini didasari dari sebuah catatan teks Jawa Kuno yang bertajuk "Pustaka Raja Purwa" yang diperkirakan berasal dari tahun 416 M. Mereka menarik kesimpulan bahwa, nama Gunung Batuwara merupakan nama lama dari Gunung Krakatau. Serta, diketahui ketinggiannya yang telah mencapai 200 m di atas permukaan laut. Letusan tersebut telah menghancurkan 3/4 tubuhnya serta menyisakan bagian yang menjadi Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung.
Detik-detik letusan Gunung Krakatau dapat kita lihat pada catatan Johannes Beijerinck yang saat itu berada di Lampung. Seribu tahun setelah meletus, dalam kurun waktu Mei-Juni 1883 Gunung Krakatau mengeluarkan asap panas dan letusan-letusan kecil, getaran gempa mulai terasa, hingga daerah Katimbang, Lampung Selatan. Sampai pada akhirnya, pada 26 Agustus 1883 letusan terjadi, yakni disertai dengan air laut surut, timbul tsunami besar setinggi 40 m. Selama 20 jam lamanya Gunung Krakatau mengeluarkan letusan, langit dibuat gelap, abu vulanik menyebar ke segala penjuru, disertai badai dan kilat. Hingga, pada 27 Agustus 1883 hampir seluruh magma dikeluarkan dan menyebabkan tubuh Gunung Krakatau runtuh. Jauh sebelum itu, hewan-hewan telah menunjukkan gelagat yang aneh, tapi tidak digubris para penduduk.
Spekulasi yang berkembang saat itu, termasuk ramalan dari seorang jurnalis dan editor Koran Boston Globe yang berkebangsaan Amerika, Edward Samson dalam mimpinya. Pada malam hari 10 Agustus 1883, ia bermimpi terdapat sebuah gunung yang meletus dengan dahsyatnya serta memuntahkan lahar ke sekelilingnya dan warga sekitar berlarian, tapi tidak bisa menyelamatkan diri. Mimpi itu, telah sempat Samson tuliskan sampai pada akhirnya tulisan Samson tersebut ditemukan oleh salah satu rekannya yang mengira hal itu nyata, ia pun dengan cepat menyebarluaskannya. Setelah 17 hari tulisan itu dipublikasikan, Gunung Krakatau benar-benar meletus, seperti pada mimpi Samson.
Berdasarkan hasil catatan Pemerintah Kolonial Belanda yang menyebutkan korban akibat letusan ini memakan lebih dari 36.000 korban jiwa. Saat itu, lontaran material menutupi atmosfer dan membuat cahaya matahari tidak mampu masuk ke bumi, serta ketinggian air yang mencapai Pantai Hawai dan Semenanjung Timur Tengah. Hasil observasi yang diperoleh dari penuturan warga sekitar, menyebutkan terjadinya letusan Gunung Krakatau sama halnya dengan yang terjadi menurut penelitian dan ramalan tersebut. Semua itu, telah menunjukkan bukti sejarah yang panjang dari Gunung Krakatau, terlepas dari segala mitos yang menyelimutinya sampai saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H