Lihat ke Halaman Asli

Devy Arysandi

Remahan Rakyat

Moratorium Sawit Menjadi Awal atau Akhir Reformasi Sawit di Tanah Air?

Diperbarui: 23 Juli 2021   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

           Tahun ketiga merupakan penutup Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 ini. Sejak pertama kali ditetapkan oleh Presiden Ir. Joko Widodo, kebijakannya mengundang tanya di antara banyak pihak. Peluh perjuangan mendapatkan hak masyarakat kecil untuk menopang raga selama dua tahun pergulatan pada tempo yang cukup menguras emosi. Tertuang sebuah mandat "Moratorium Sawit" berisikan Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Haruskan menjadi awal atau justru berakhir di penghujung mimpi?

           Menengok kembali opportunities and threats di dalam kebijakan yang berlangsung dalam kurun waktu terakhir ini. Industri sawit merupakan bidang paling menggiurkan bagi semua kalangan, pada tahun 2020 ekspor sawit dapat mencapai 34 juta ton berdasarkan rekapitulasi BPS. Industri ini juga dapat membukakan lapangan pekerjaan dan menjadi sandaran nasib bagi para petani sawit. Jauh dari itu, masih banyak tugas yang harus diselesaikan oleh industri adidaya ini. Kesejahteraan petani yang masih dipertanyakan, kondisi desa tempat perkebunan yang seolah lepas dari jangkauan, dan praktik cuci tangan dari perpajakan yang menyebabkan simbiosis parasistisme. Ditambah lagi dengan masih adanya ketidakpercayaan sosial yang menurunkan daya saing global.

            Angin segar boleh dibawa, tapi tidak selamanya akan bertahan. Padahal, moratorium sawit menjadi senyuman bagi para petani, hanya saja waktu bergulir terlalu cepat dan diperlukan sinergitas yang tepat untuk membangun optimalisasi. Rakyat membutuhkan transparansi dan para pengamat membutuhkan konsep objektivitas dengan adanya keterbukaan sebagai pembanding sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan tersebut.

            Sepak terjang masa periode kebijakan memenuhi batas akhir, boleh dikatakan dalam Kepmenten Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 pemerintah pusat berhasil memapah data dengan rekapan luasan perkebunan sawit. Di daerah, kiprahnya mampu mengendalikan perizinan dengan pemutusan izin di beberapa perusahaan dan para "taipan".

            Peluangnya untuk menyuplai pasar mancanegara pada basis Crude Palm Oil (CPO). Selain itu, dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap hasil olahan sawit dari Indonesia. Menyelesaikan ketimpangan sosial akibat konflik perizinan sawit yang menguntungkan sebelah pihak dalam kasus deforestasi hutan. Moratorium sawit juga dapat berpeluang menurunkan emisi dalam rangka menerapkan cinta lingkungan terhadap iklim di dalam negeri (NDC). Serta, mencapai tujuan utamanya dalam demokrasi untuk menyongsong kesejahteraan agraria dengan meningkatkan produktivitas petani.

            Tantangan mengukung peluang moratorium sawit yang masih merangkak menjamah kehidupan masyarakat. Kebijakan ini dikatakan tidak optimal dengan capaian minimum produktivitas, dengan belum ditemukannya alur kebijakan di lapangan, koordinasi yang masih memerlukan banyak evaluasi, dan  belum diusungnya juknis dalam tata kelola antara pemerintah pusat dan daerah.

            Dana pengembangan SDM pada setiap tingkat daerah masih belum memadai dan laporan yang dibutuhkan belum mampu memuaskan hasil pencapaian. Sosialisasi yang berjalan masih terbilang jauh, belum habisnya emosional di sektor pemerintahan, dan adanya pengalihan jabatan di tengah perjalanan. Diperparah dengan ketidakjelasan penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja yang masih menjadi sebuah polemik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline