Lihat ke Halaman Asli

Demi Waktu

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Awal 2003, suatu hari saya bertanya kepada atasan saya, seorang Koordinator Pelaksana Penagihan,

"Bapak kalau berangkat dari rumah jam berapa?" "Jam enam pagi," jawabnya. Jawaban yang membuat saya kagum dan tentunya juga mengejutkan saya. Serta membuat saya berpikir dalam-dalam dan bertanya-tanya dalam hati, "Kok bisa yah? Kayaknya saya enggak bisa deh.

" Ya, bagaimana tidak? Ia berangkat dari rumahnya yang berada di pinggiran Bekasi (bukan di pinggiran Jakarta loh ya) pagi-pagi sekali dengan menempuh puluhan kilometer, dan pada saat yang sama saya masih bergelung dengan selimut saya di atas kasur rumah saya di pinggiran Bogor. Pula tentunya ia bangun kurang dari jam enam pagi untuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari bangun tidur, lalu mandi dan sholat shubuh, sarapan, membersihkan mobil seadanya, lalu berangkat. Tentunya ia yang paling awal datang di kantor. Sedangkan saya dengan jarak tempuh yang hampir sama, baru berangkat ke kantor pukul setengah delapan pagi, yang tentunya tiba di kantor satu jam kemudian. Itu pun dengan kondisi belum sarapan.

Sampai di kantor sarapan dulu, baca-baca koran, mengobrol ke sana ke mari dengan kawan, lalu efektif mulai bekerja pada pukul sembilan pagi lebih sedikit. Bagaimana dengan absen?

Pada saat itu kantor saya, Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Tiga belum memulai mereformasi dirinya, belum modern, masih dengan budaya lamanya. Budaya PNS pada umumnya. Absen masih menggunakan gaya lama, mengisi di sebuah lembar kertas formulir dan

masih bisa titip sama teman. Kalaupun tidak, sampai sore pun lembar absen pagi belum juga beranjak dari meja. Saya masih punya kesempatan menorehkan tanda tangan saya di lembar absen, jam berapapun saya datang. Otomatis di awal bulan gaji saya masih utuh. Tak ada potongan sepeser pun. Tapi begini-begini, saya masih punya rasa tidak enak kalau datang begitu siang. Kompensasinya saya pulang lebih larut untuk menggantikan jam yang hilang karena keterlambatan tersebut. Walaupun demikian tetap saja di hati yang paling dalam saya merasa menjadi orang yang tidak menghargai waktu.

Bertahun-tahun dengan kondisi ini membuat saya menjadi orang malas. Bahkan meragukan kemampuan diri saya untuk bisa berangkat pagi-pagi sekali atau tepat pukul enam pagi. Dengan banyak alasan tentunya. Yang paling sering adalah mencari pembenaran dengan berpikir bukan saya sendiri yang melakukan ini. Diakui, budaya di kantor kami memang masih seperti demikian. Yang rajin atau pun malas, gajinya tetap segitu-segitu juga.

Sampai suatu ketika, arus modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dimulai sejak tahun 2002 mulai menyentuh kantor saya. Akhir tahun 2003 sudah beredar pengumuman seleksi pegawai KPP Modern. Saya ikut seleksi tersebut. Tentunya dengan harap-harap cemas tentang masa depan dan bisa tidaknya saya lolos seleksi itu. Katanya kalau kantor sudah modern gaji pegawainya akan dilipatgandakan, "ini yang saya tunggu", pikir saya.

Struktur organisasi kantor akan dirubah, "tidak apa-apa", pikir saya lagi. Kode etik akan diterapkan, "saya siap". Suap menyuap enggak akan ada lagi, "lahir batin saya senang sekali mendengar berita ini." Dan yang pasti absen dengan finger print akan diterapkan, "waduh...ini yang berat." Satu alasan saja sebenarnya saya ikut modernisasi ini. Saya ingin berubah. Satu pertanyaan setelahnya adalah, "saya siap berubah atau tidak yah ?" Mau tidak mau saya harus berubah.

Alhamdulillah, saya lolos seleksi tersebut. Jabatan saya telah berubah. Semula pelaksana, kini saya telah menjabat sebagai Account Representative (AR). Tugasnya melakukan pengawasan, memberikan konsultasi, dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Wajib Pajak. Dulu Wajib Pajak harus menghubungi banyak meja kalau berurusan dengan kantor pajak, kini cukup dengan menghubungi AR-nya saja.

Efektif per November 2004 kantor saya sudah menjadi KPP Modern. Masalah absen tentunya diperketat. Sebagai sarana uji coba menunggu mesin finger print-nya tiba dan dipasang absen masih dengan cara mengisi kertas formulir absen, tapi langsung diambil oleh penanggung jawab absen tepat pukul setengah delapan pagi. Kemudian pada jam lima sore lembaran absen baru dikeluarkan lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline