Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada kenyataan bahwa ada orang yang tidak menyukai kita. Sebagai orang yang hidup di tengah masyarakat, kita sering kali dihadapkan pada berbagai penilaian, opini, dan persepsi dari orang lain. Namun, apakah penting bagi kita untuk disukai oleh semua orang?
Saya ingin mengajak Anda untuk merenungkan hal ini. Sebagai manusia, kita memiliki keinginan alami untuk diterima dan disukai. Kita mencari validasi dari lingkungan sekitar kita. Tapi, jika kita terus-menerus mengejar penerimaan dari semua orang, kita akan menemukan diri kita terjebak dalam siklus yang tidak pernah berakhir, melelahkan.
Mengapa kita harus menghabiskan energi kita untuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita?
Kita perlu memahami bahwa pendapat orang lain tentang kita lebih mencerminkan mereka daripada mencerminkan siapa kita sebenarnya. Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan nilai-nilai yang berbeda. Oleh karena itu, penilaian mereka terhadap kita sering kali dipengaruhi oleh perspektif dan pengalaman pribadi mereka.
Kita harus ingat bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan atau rasakan. Yang bisa kita kendalikan adalah tindakan dan reaksi kita sendiri. Fokuslah pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Jika kita terus-menerus mencoba mempengaruhi opini orang lain, kita hanya akan menguras energi dan waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal yang lebih produktif.
Dalam menjalani kehidupan, kita perlu memiliki tujuan dan prinsip yang jelas. Ketika kita tahu apa yang kita inginkan dan percaya pada nilai-nilai yang kita pegang, kita akan lebih mudah untuk tidak terpengaruh oleh opini orang lain. Ingatlah bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Selalu akan ada orang yang tidak setuju dengan kita, tidak suka dengan cara kita berpikir, atau bahkan merasa terganggu oleh keberhasilan kita.
Pernahkah Anda mendengar kisah tentang Lukmanul Hakim dengan anaknya?
Suatu hari, mereka pergi ke pasar dengan membawa keledai. Sepanjang perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai orang yang memberikan pendapat berbeda. Ketika sang anak menaiki keledai, ada orang yang berkata, "Anak yang tidak tahu diri, enak-enakan naik keledai, ayahnya malah jalan kaki."
Ketika Lukmanul Hakim menaiki keledai, ada yang berkata, "Ayah yang kejam, mengapa dia tidak membiarkan anaknya yang naik?"
Ketika keduanya menaiki keledai, ada yang berkata, "Keledai malang, dibebani oleh dua orang." Dan ketika mereka berdua berjalan kaki sambil menuntun keledai, ada yang berkata, "Bodoh sekali, mengapa tidak menaiki keledai itu?"