Beberapa tindakan - dari penguasa maupun rakyat - dapat menjadi penyebab matinya demokrasi. Di buku ini, beberapa tindakan tersebut dijelaskan.
Data buku
Judul: Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die)
Penulis: Steven Levitsky & Daniel Ziblatt
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2019
Tebal: 272 + xv
Tagline 'Bestseller International' menjadi penambah semangat saya untuk membaca buku ini. Walaupun tanpanya saya akan tetap membaca buku ini, Karena akhir-akhir ini sedang tertarik masalah politik. Maklum, mendekati hajatan demokrasi lima tahunan yang tinggal lima bulan lagi.
Kalimat "Bagaimana Demokrasi Mati" adalah kalimat yang mengundang pertanyaan yang membaca, 'Betulkah demokrasi bisa mati?'
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kedua penulis memaparkan kasus-kasus matinya demokrasi yang terjadi di beberapa negara.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt membahas secara mendalam tentang bahaya yang mengancam fondasi demokrasi, serta faktor-faktor yang berkontribusi terhadap matinya demokrasi dan bagaimana demokrasi bisa mati perlahan-lahan.
Selama ini kita mungkin menganggap hanya militer - dengan kekuatan senjatanya - yang dapat menghancurkan (mematikan) demokrasi. Faktanya memang aksi 'membunuh demokrasi' yang dilakukan militer ini terjadi di beberapa negara. Demokrasi di Argentina, Brazil, Ghana, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Republik Dominika, Thailand, Turki, Uruguay, dan Yunani mati dengan cara ini.
Yang baru-baru ini terjadi, di Mesir. Pada 2013 Presiden Muhammad Mursi yang menang melalui Pemilu yang demokratis, digulingkan melalui kekuatan militer. Begitupun yang terjadi pada Perdana Menteri Yingluck Shinawatra pada 2014 di Thailand.
Sehingga kedua penulis tidak menyalahkan anggapan sebagian orang tersebut. Dan buku ini mengoreksi anggapan itu. Menurut penelitian kedua penulis buku ini, bukan hanya militer yang dapat menghancurkan demokrasi, tetapi juga pemimpin terpilih, presiden atau perdana menteri.
Di bab 4, Menumbangkan Demokrasi, kedua penulis memaparkan bagaimana demokrasi di Peru hancur oleh presidennya, Alberto Fujimori. Padahal Fujimori - saat pemilihan presiden - merupakan tokoh yang diidolakan rakyat, yang sudah muak dengan rezim yang berkuasa dan kalangan elitnya. (h 55)