Sudah 4 tahun saya menjabat eselon 6 di sebuah perumahan. Anda tahu jabatan eselon 6?
Hehe ... itu istilah kami di sini untuk menyebut Ketua RT. Sekarang saya menjabat di periode kedua.
Saya jadi Ketua RT karena dua bakat. 'Bakat ku euweuh nu daek' dan 'bakat ku kudu aya'. Itu ungkapan dalam bahasa Sunda, yang artinya
Bakat ku euweuh nu daek = karena tidak ada yang mau.
Bakat ku kudu aya = karena (mau tidak mau) harus ada.
Terpaksa dengan ikhlas, atau dipaksa harus ikhlas, saya menerima jabatan tersebut, tanpa harus ada seremonial pelantikan, dan acara pisah sambut dengan pejabat lama.
Selama menjabat jadi Ketua RT, saya jadi mengerti mengapa banyak orang yang ambisi ingin jadi Walikota/Bupati, atau Gubernur, tetapi berebut menolak kalau diminta jadi Ketua RT. Namun saya tak perlu menjelaskannya di sini. Maksud artikel ini bukan untuk menulis itu. Saya menulis hanya karena ingin curhat.
Selama menjabat Ketua RT, saya sudah didatangi 4 provider internet yang minta izin untuk pasang tiang di wilayah perumahan.
Alhamdulillah, meneruskan keinginan hampir semua warga, saya berhasil menolak (tidak memberi izin) 3 provider. Yang satu tidak bisa kami tolak karena membawa dokumen yang ditandatangani Lurah dan seseorang yang mengatasnamakan warga, yang bunyi dokumen itu membolehkan (mengizinkan) pemasangan tiang.
Kenapa kami, saya dan warga, menolak pemasangan tiang?
Karena kalau setiap provider internet memasang tiang masing-masing, coba bayangkan kalau ada 10 provider. Maka dalam satu titik lokasi akan ada 10 tiang.