Lihat ke Halaman Asli

Urip Widodo

Write and read every day

Guru Tanpa Seragam

Diperbarui: 25 November 2022   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi anak-anak mengaji/sumber: rumahpedulicom

Di antara puluhan guru yang telah mendidik dan mengajari saya, sejak SD sampai lulus SMA, ada beberapa orang 'guru' yang tidak atau kurang terperhatikan oleh orang tua saya, juga oleh orang tua teman-teman saya.

Guru ngaji.

Ya. Guru yang telah mengenalkan huruf-huruf hijaiyah hingga saya bisa membaca al-Quran. Bukan ustaz. Bukan, karena mereka hanya anak-anak STM (sekarang SMK), yang lebih sering kami panggil Aa (kakak).

Saya tinggal di sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Barat. Sampai tahun 1980an hanya ada satu sekolah kejuruan dengan jurusan khusus, pertanian. Kami sering menyebutnya STM Pertanian. Jarak dari rumah saya ke sekolah ini hanya 1 kilometer.

Karena sekolah satu-satunya, siswanya banyak dari luar kecamatan dimana saya tinggal, bahkan banyak juga dari luar kabupaten. Sehingga mereka harus kost. Supaya cukup berjalan kaki, mereka memilih kost di rumah-rumah yang dekat sekolah, termasuk di dekat rumah saya.

Di antara mereka, maksudnya anak-anak STM yang nge-kost itu, ada beberapa yang dengan sukarela mau mengajari anak-anak kampung membaca al-Quran. Inisiatif mereka, tanpa meminta bayaran.

Setiap sore, menjelang Magrib sampai Isya, anak-anak kampung akan berangkat ke mushola, atau 'tajug' istilah di kampung saya. Belajar huruf hijaiyah, berkelompok sesuai jumlah guru ngaji yang datang.

Mereka, guru-guru ngaji itu, tinggal hanya 3 tahun saja. Setelah lulus sekolah mereka pulang ke daerah masing-masing, dan kemudian mereka akan digantikan oleh adik kelasnya (siswa baru), yang sama juga harus nge-kost.

Demikian terus setiap tahun. Sehingga kami memiliki banyak guru ngaji, dengan berbagai karakter, dengan berbagai ciri khasnya masing-masing.

Di antara guru-guru ngaji yang bergantian itu, ada satu yang masih berkesan bagi saya. Namun, sayang saya sudah tidak ingat namanya. Terkesan, karena dia pandai mendongeng. Setelah selesai mengajar, menunggu waktu Isya, dia sering mendongeng dengan berbagai cerita, baik cerita binatang seperti Si Kancil, maupun cerita tentang kerajaan.

Entah di mana mereka sekarang berada. Kalau mengingat usiaku sekarang, mungkin beberapa di antara mereka ada yang sudah meninggal dunia. Semoga apa yang mereka lakukan dulu, mengajari kami mengenal huruf-huruf hijaiyah, mengajari kami cara berwudu, cara salat, mengajari beberapa bacaan salawat, dibalas Allah SWT dengan pahala yang terus mengalir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline