Lihat ke Halaman Asli

Urip Widodo

Write and read every day

Jangan Remehkan Kekuatan Netizen

Diperbarui: 5 Februari 2022   06:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: unsplash

Maaf, pertama kali saya harus menjelaskan, bahwa yang saya maksud netizen di judul itu bukan buzzer, ya. Baik buzzer-nya si anu, maupun buzzer-nya si ono. Maklum, pasca Pilpres 2014 dan berlanjut ke Pilpres 2019, warga +62 seolah terpecah menjadi 2 golongan, golongan yang saling menghujat. Nah, untuk menghujat dan menangkal hujatan, konon masing-masing membentuk pasukan yang bergerak di media sosial. Yang kemudian sering disebut buzzer.

Entah sampai kapan saling lempar hujatan dari 2 golongan itu akan berhenti. Makanya saya perlu meluruskan terlebih dahulu, bahwa yang saya maksud bukan buzzer-buzzer itu. Ngeri saya, Mas. Kalau saya dikira ngebahas tentang buzzer. Apalagi menjelang hajat 5 tahunan, 2024 nanti.

Lalu apa yang saya maksud dengan kekuatan netizen di judul itu?

Netizen maksudnya adalah Internet Citizen (warga internet). Ya, kita-kita ini yang saban hari berselancar di dunia maya.

Sedangkan maksud dari kekuatan adalah netizen ini punya kekuatan yang dahsyat, punya power yang super. Walaupun tidak dibayar, dibiayai, apalagi dipelihara, seperti buzzer-buzzer itu. Bahkan kekuatan netizen itu bisa mengubah peraturan seorang menteri.

Kasus yang menunjukkan kekuatan netizen itu terjadi beberapa waktu yang lalu. Saat seorang ibu, bernama Poppy Dihardjo, mendapat keluhan dari temannya yang curhat. Temannya itu mengeluh karena di ijazah anaknya, nama orang tua yang ditulis adalah nama ayah, bukan nama ibu. Padahal ayah dari anak itu sudah tiada.

Ibu Poppy Diharjo pun penasaran dan bertanya ke sekolah anaknya. Dan mendapat jawaban bahwa memang aturannya di ijazah itu yang ditulis nama ayah bukan nama ibu. Ibu Poppy Diharjo, yang seorang single mom, merasa bahwa ini adalah bentuk diskrimasi terhadap perempuan, terutama ibu tunggal.

Maka, dia berinisiatif membuat petisi 'Ibu Tunggal Berhak Namanya Ditulis di Ijazah Anak, Stop Diskriminasi di Dunia Pendidikan!' melalui change org. Petisi itu kemudian viral dan mendapat dukungan 16.000 lebih tanda tangan. Petisi itu pun sampai ke Kemdikbudristek yang kemudian mengeluarkan Surat Edaran no. 28/2021.

Di Surat Edaran tersebut disebutkan kalau nama yang akan dituliskan di blangko ijazah tidak harus nama ayah peserta didik. Artinya, nama ibu pun bisa dituliskan sebagai nama orangtua. Tentu saja keluarnya surat edaran ini disambut bahagia para ibu tunggal. Tidak akan ada lagi kejadian seorang ibu yang harus berjuang mati-matian hanya supaya namanya bisa ditulis di ijazah anak mereka.

Keberhasilan petisi ini menunjukkan bahwa netizen, lewat petisi, telah berhasil menghilangkan diskriminasi yang dihadapi oleh para perempuan, terutama di institusi pendidikan dasar dan menengah. Yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline