Salah satu yang sedang ramai dibincangkan, baik di dunia maya maupun di dunia nyata, adalah masalah revisi Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Yang menjadi polemik adalah perlu tidaknya UU ITE ini direvisi. Desakan untuk merevisi UU tersebut belum mendapat respon dari pemerintah dan DPR. Setidaknya itu yang saya baca di berita kompas online di sini.
Tentu tidak tanpa alasan ada keinginan sebagian masyarakat yang diwakili para pakar, untuk merivisi UU ITE. Salah satunya adalah adanya pasal-pasal 'karet' atau pasal-pasal yang multitafsir dalam UU tersebut. Misalnya Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran bermuatan SARA.
Dan bukan tanpa alasan pula kedua pasal tersebut disebut pasal 'karet', karena realitanya sudah banyak korban yang sekarang mendekam di rutan terkena pasal ini. Yang justru bagi sebagian masyarakat, dari sudut pandang mereka, kasus-kasus yang dikenai pasal tersebut, terlalu berlebihan. Karena ke'karet'an pasal tersebut, maka akan ada sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dan masyarakat.
Tapi biarlah. Polemik revisi UU ITE itu menjadi bagiannya mereka-mereka yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Tulisan saya ini hanya ingin meredam jumlah kasus yang terkena pasal-pasal 'karet' dengan cara memperbaiki cara kita bersikap terhadap sebuah informasi.
Dari beberapa kasus yang sudah terjadi, yang dianggap melanggar UU ITE kebanyakan terjadi di dunia maya, lebih tepatnya di media sosial (medsos). Ini bisa terjadi karena ketidaktahuan pelaku bahwa perbuatannya di medsos itu melanggar UU ITE. Makanya, penting untuk mengetahui bagaimana etika ber-medsos, baik saat menulis konten maupun saat menyebarkan (share) sebuah berita.
Bagi seorang Muslim, ada etika dasar yang harus selalu diingat. Saya menyebutnya etika dasar, karena hadis yang membahas ini diajarkan sejak di Taman Kanak-kanak (TK). Yaitu etika berbicara.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam." (Muttafaq 'alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Berkata dalam hadis di atas, dalam konteks kekinian, tentu juga maksudnya menulis status di medsos.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi'i rahimahullah mengatakan, "Jika seseorang hendak berbicara (menulis status-pen) maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan (status-pen) tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara/menulis)."
Berkata (menulis status) yang baik atau diam. Hanya ada dua opsi, tidak ada opsi lain. Sekarang bagaimana menilai sebuah perkataan atau status itu baik? Ini yang harus menjadi perhatian, kalau kita memang tidak mau diam.
Pertama, baik dilihat dari sisi konten. Perkataan atau status yang ditulis itu mengandung sesuatu yang baik, yang bermanfaat bagi pendengar atau pembaca. Banyak hal baik yang bisa kita ucapkan atau tuliskan, misalnya tips supaya mudah bangun malam untuk salat tahajud, atau tips menulis artikel yang enak dibaca, dan lain-lain berdasarkan pengalaman pribadi maupun menurut referensi yang kit abaca.