Lihat ke Halaman Asli

Urip Widodo

Pensiunan yang ingin terus menulis

Kita (dahulu) adalah Bangsa yang Gagah, Berani dan Mandiri

Diperbarui: 4 September 2020   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Republika

Mungkin ada yang langsung baper membaca judul tulisan ini, karena saya memakai kata 'dahulu' di dalam kurung. Entah mengapa, sejak perhelatan pilpres 2019 yang lalu seolah bangsa kita terpolarisasi menjadi dua golongan. 

Ada yang pro-Presiden Jokowi sebagai pemenang pemili 2019 dan ada yang anti presiden Jokowi. Saya tidak menyebut golongan yang satu sebagai yang pro-Prabowo (rival Jokowi di Pilpres 2019), karena toh sekarang Prabowo ada di kubu presiden Jokowi.

Istilah cebong dan kampret pun, yang ramai saat pilpres itu, sampai sekarang masih menjadi sebutan untuk masing-masing kedua golongan tersebut. Segala hal yang menyangkut pemerintahan (spesial tentang presiden Jokowi) selalu menjadi sesuatu yang sensitif. Apa pun itu kalau 'terlihat' negatif terhadap pemerintah, maka disebut golongan yang satu. Begitupun sebaliknya, kalau 'baik-baik' terhadap pemerintah, dicap dari golongan yang satunya lagi.

Oleh karenanya, sebelum jauh menulis, saya sudah memberi warning, bakal ada yang menganggap saya dari golongan yang anti pemerintah, karena penggunaan kata dulu, yang 'mungkin' ditafsirkan kalau sekarang negara kita tidak gagah, berani dan mandiri. Lalu, apakah tuduhan itu benar? Untuk tahu jawabannya, sebaiknya dilanjut saja membacanya.

Kata dahulu dalam judul di atas menandakan waktu yang lampau atau zaman sebelum sekarang. Sehingga konteksnya tulisan ini mengulas tentang sejarah bangsa Indonesia. Karena membaca sejarah itu penting. Bahkah al-Qur'an pun isinya dua pertiga disajikan dalam bentuk kisah (sejarah). Menurut informasi yang lain jumlahnya lebih dari 1.600 ayat dari keseluruhan ayat al-Qur'an. 

Artinya, sejarah adalah sesuatu yang penting dipelajari untuk menjadi pelajaran, acuan atau sekedar bahan renungan. Julian Barnes, penulis Inggris dalam The Sense of an Ending, menulis "Sejarah adalah kepastian yang dihasilkan pada titik pertemuan antara ketidaksempurnaan ingatan dan kekurangan dokumentasi."

Jadi tulisan ini tentang sejarah, satu episode di mana saat itu negara kita, melalui tokoh-tokohnya, menunjukkan kegagahan, keberanian dan kemandirian di hadapan negara-negara lain, bahkan di hadapan negara super power. Serta berharap kegagahan, keberanian dan kemandirian tersebut dapat terulang. Sekarang dan nanti.

Episode tersebut terjadi pasca Perang Dunia II usai. Saat itu muncul dua kutub kekuatan besar di dunia, yaitu blok Barat yang dimotori Amerika Serikat (AS) dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.

Perbedaan ideologi dan kepentingan antara kedua blok seringkali menyebabkan perselisihan dan konflik, sehingga merebaklah perang dingin antara keduanya. Nah, di tengah suhu yang memanas itu, setiap negara yang ada di waktu itu seakan harus memilih untuk masuk ke dalam salah satu kubu, blok Barat atau blok Timur. Tak terkecuali Indonesia. Negara yang baru berdiri ini seakan langsung diberi pilihan untuk masuk blok AS atau blok Uni Soviet.

Uniknya, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Sinyal itu untuk pertama kali dengan gagah disampaikan oleh Sutan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri RI, melalui pidatonya yang berani di ajang Inter Asian Relations Conference yang dilaksanakan di New Delhi tanggal 23 Maret -- 2 April 1947.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline