Lihat ke Halaman Asli

Ayhie Bocah Wingi

Uri Masyhuri

Beda Oknum Wartawan Bodrek, Amplop dan Berprofesi Ganda, Ini Tips Menghadapinya

Diperbarui: 25 Juli 2022   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : wartawan tengah melakukan kerja peliputan (Pixabay/Alexas_Fotos)

Riuh dan viral seseorang yang mengaku sebagai wartawan menyetop mobil plat merah saat hari libur. Lucunya, dalam video viral itu tidak jelas apa yang menjadi konteks apakah wartawan tersebut ingin mewawancarai sang pembawa mobil yang mungkin juga ASN, atau hendak apa yang dilakukan wartawan tersebut.

Lazimnya jika dia seorang wartawan, seharusnya sebagai bentuk kontrol sosial memberitahukan jika ada pelanggaran yang dilakukan di dalamnya. Itu juga tentunya harus berkaitan dengan aturan pemakaian mobil dinas.

Dimana ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 87 Tahun 2005 Tentang Pedoman Efisiensi dan Disiplin PNS.

Penggunaan Kendaraan Dinas Operasional: a. Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas pokok dan fungsi; b. Kendaraan Dinas Operasional dibatasi penggunaannya pada hari kerja kantor dan c. Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan di dalam kota, dan pengecualian penggunaan ke luar kota atas izin tertulis pimpinan Instansi Pemerintah atau pejabat yang ditugaskan sesuai kompetensinya.

Jika itu dilakukan, maka wartawan bisa wawancaranya dengan tetap mengedepankan kode etik jurnalistik. Tugas sebagai wartawan sudah jelas tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 2, yaitu  Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Problem dan kejadian seperti itu bisa saja terjadi. Baik dari sisi minimnya profesionalisme wartawan atau juga ASN yang tidak memahami soal peraturan menteri.

Sejak terbit Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, membuat pers lepas dari simbol pengekangan, dimana hal yang menjadi barrier atau penghalang kemerdekaan pers dihapuskan, misalnya tidak ada kewajiban Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, pembredelan, tidak ada wadah tunggal organisasi wartawan dan tidak ada kewajiban wartawan mengikuti penataran.

Hal itu membuat pers menjamur bak jamur dimusim hujan. Pada akhirnya juga karena kebebasan yang kebablasan membuat banyak orang memanfaatkan profesi pers. Sejalan dengan itu juga muncul berbagai permasalahan profesionalisme pers sendiri.

Ada beberapa ungkapan istilah yang bisa disampaikan, bahkan istilah ini pun muncul dalam buku Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas Penyunting: Bekti Nugroho dan Samsuri Cetakan I Jakarta: DEWAN PERS; 2013.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline