Lihat ke Halaman Asli

Pantat & Pengantar Proposal Iklan Dji Sam Soe

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[serius]

Sebatang Dji Sam Soe, tentu saja tak seranum sungging senyummu. Sebab Dji Sam Soe adalah kawan ketika aku galau dan berkelumit dengan risau. Sedang senyummu adalah kawan ketika aku sedang mencoba bercengkerama dengan asmara. Asmara yang kadang-kadang harus kulayani kehendaknya walaupun aku sedang tak cukup uang untuk membeli nasi siang. Seperti hari ini, tiba-tiba aku dirasuk rindu yang tertahan. Rindu akan jalinan asmara yang telah lama terpendam. Rindu padamu tepatnya. Dan ketika rindu padamu ini membuncah, aku merasakan desakan asmara mulai mengaburkan akal sehatku, hingga ingatan, atau mungkin saja bayangan sesungging senyummu yang pernah kudapati beberapa bulan lalu harus dengan tergesa-gesa kuingat-ingat kembali. Dimana saat ingatan tentang senyummu itu dapat kuterka lagi dengan baik dan sederhana, rinduku sedikit demi sedikit menyusut surut. Asmara pun terbang melayang sambil mengepakkan sayapnya dan kemudian dengan sendirinya menghilang. Namun celakanya, setelah kejadian yang begini rupa, aku sering dihinggap rasa galau dan perasaan risau yang menyeluruh. Menyeluruh keseluruh tubuh. Menyeluruh seperti hendak membalut tubuh. Maka saat-saat yang seperti inilah aku butuh sebatang Dji Sam Soe.

Dapat kupastikan pula, bahwa sebatang Dji Sam Soe kadang-kadang menjadi momok yang menakutkan bagiku sendiri. Hal ini kukatakan, sebab aku pernah mengalami kejadian yang sangat konyol mengenai keberadaan sebatang rokok Dji Sam Soe. Dimana pernah suatu hari aku membeli sebatang rokok yang sekarang seharga seribu rupiah dengan uang koin seratusan. Dan hal konyol yang kualami adalah ketika aku menyodorkan uang koin sebanyak sepuluh koin. Aku dihardik penjaga warung karena uang recehan tersebut. Hardikan penjaga warung saat itu kupikir sama saja seperti hardikan seorang suami yang mendapati istri cantiknya dicolek pantatnya oleh seorang pria usil. Dan ketika aku dihardik, seolah-olah aku adalah si pria usil yang dengan kurang ajar mencolek pantat istri orang tersebut. Aku dihardik penjaga warung dengan nada geram-geram bengis, dengan pelototan mata anti pengemis. Aku dihardik hanya gara-gara membeli sebatang rokok Dji Sam Soe dengan menggunakan uang koin recehan. Lantas aku pulang. Dengan tergesa-gesa aku pulang.

Kemudian yang kupikirkan adalah bukan perkara Dji Sam Soe saja. Yang kupikirkan kemudian bukan lagi persoalan kehendak asmara, yang ketika aku sudah melayaninya dengan ingatan sesungging senyummu, aku buru-buru butuh sebatang Dji Sam Soe. Tapi yang terpikirkan olehku kemudian, setelah mengalami kejadian hardikan penjaga warung yang paling menjengkelkan tersebut adalah lebih kepada persoalan harga sekoin dua koin uang. Dan yang menjadi persoalan saat itu sampai sekarang adalah lebih kepada persoalan jumlah uang. Dan mulai saat itu pula, aku mulai mengidap suatu penyakit materialistis yang termasuk dalam taraf materialistis stadium tinggi. Sejak saat itu aku mulai memikirkan sisi ekonomis suatu rencana. Aku mulai memikirkan juga untunglaba-rugipapa suatu pekerjaan. Celakanya, ketika aku memikirkan hal-hal yang begini macam, aku merasa sangat-sangat sadar, bahwa apa yang kupikirkan ini adalah salah besar. Cuma lebih celakanya lagi, ketika aku sedang sadar, bayangan wajah si penjaga warung yang menghardikku itu terngiang-ngiang nampak di depan mata. Hingga jika sudah berlaku seperti ini, kesadaranku tentang tidak baiknya sifat materialistis itu menjadi pudar dan membias begitu saja.

Saat ini sebatang Dji Sam Soe tak lagi kuanggap sebagai seorang teman. Sebatang Dji Sam Soe hanyalah seonggok rokok yang ketika aku menyulut asapnya, aku membayangkan bahwa asap yang kusulut itu adalah uang yang berterbangan. Uang yang berseliweran. Uang yang berhamburan. Uang berantakan. Uang persoalan. Atau boleh jadi uang yang dihasilkan hanya dengan mengentuti seseorang sambil mencaci maki dalam diam. Maka ketika aku larut dalam bayangan seperti ini, aku jadi ingat pada sebuah sajak yang pernah kutulis beberapa tahun lalu. Sajak yang berhubungan dengan uang tentunya. Isi sajaknya begini:

Pantat Bilang

Lantas ketika aku punya uang

Sanggupkah kau jilat pantatku

Sanggupkah kau jilat pula

Pantat pembantu-pembantuku

Kau kata;

Tuan, jangan main-main dengan pantat

Pantat sering berpendapat

Yang baik atau yang bejat

Kadang juga pantat bisa menjerat

Lantas ketika aku punya uang

Maukah kau kujadikan penjaga pantat

Yang mengatur jadwal kentut

Juga mengatur jadwal sesuatu berkedut

Kau jawab;

Tuan, buang hajat bukanlah soalan besar

Selain hidung tuan mesti berlobang lebar

Atau jejak tuan yang pernah kesasar dalam belukar

Mesti cepat-cepat dihapus atau ditukar

Aku takut, tuan jadi susah buang hajat

Lantas hanya karenanya pula, tuan sekarat cepat

Maka jika demikian

Kubuat kau punya pantat

Merekat lekat pada sebuah cawat

Dengan begitu dapat kupastikan

Kelaminmu, si tetangga pantat itu

Tersekat rapat, tak keluar-keluar

Tersembunyi di sebalik seluar

Kau kisah;

Tuan, aku sedang tak butuh itu uang

Jika boleh terus terang

Kelamin butuh kebebasan dan beberapa ruang

Cuma kadang-kadang

Bukan saban malam atau tiap siang

Sebatang Dji Sam Soe kadang-kadang bisa menumbuhkan semacam inspirasi. Kadang-kadang inspirasi suci atau sok-sok suci. Kadang-kadang inspirasi busuk dan terkutuk. Sungguh, sebatang Dji Sam Soe; aku sering batuk. Sering pula dianggap pemadat atau pemabuk.

Sungguh, sebatang Dji Sam Soe …

Bivak Emperom.

Jelang subuh, ketika akal tak seberapa utuh.

Juni, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline