Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Subjetivisme Rasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taman Ismail Marzuki, 01 Juni 2011

Ini kali ketiga aku di Jakarta. Ibukota Negara. Ini kali kedua aku berada di Taman Ismail Marzuki (TIM). Kali pertamanya kudatangi ini tempat ketika aku sedang tersesat. Secara tidak sengaja beberapa hari lalu, aku berjalan kaki sendiri. Dari Menteng ke suatu arah yang kemudian baru kutahu aku sedang menuju ke Cikini.

Kali kedua berada di TIM, aku hanya ingin tenggelam dalam suasana saja. Tak lebih. Sebab ketika kau ingin bergaul dengan suatu tempat yang asing, kau mesti benar-benar menjadi orang asing dulu di situ. Itu menurutku. Maka saat ini, seorang diri aku duduk di sebuah kantin komplek Taman Ismail Marzuki sambil menikmati sebatang rokok dan segelas estehmanis. Aku sengaja menenggelamkan diri tanpa berbicara dengan sesiapa kecuali saat pertama kali masuk kantin ketika memesan segelas estehmanis pada pelayan. Hanya dua panca indera yang kufungsikan saat ini. Kuping untuk sesekali mencuri dengar omongan orang-orang yang sedang nongkrong di meja sebelah. Mata untuk jelalatan kesana-sini atau melirik-lirik kearah orang lalu lalang, dan lain sebagainya. Mulut, seperti yang sudah kukatakan; aku tak mempergunakannya kecuali saat datang pertama tadi. Kemudian aku hanya diam saja. Hanya menikmati saja. Benar-benar ingin tenggelam dalam suasana.

Saat ini, sore sedang mengembangkan layarnya dengan angkuh. Angin bertiup hilir mudik. Tapi matahari yang sedang beranjak ke barat tetap saja memancarkan suhu panas yang membuat gerah suasana. Pun begitu, aktivitas TIM tetap berjalan seperti biasanya. Begitu kukira. Mahasiswa-mahasiswi IKJ yang kampusnya terletak di belakang gedung XXI ada yang berjalan kaki, bersepeda, bervespa ria, bermobil pribadi, lalu lalang begitu saja. Di kantin pun tak lebih sama. Semuanya, kurasa berjalan seperti biasanya saja. Orang-orang yang masuk, sendiri atau bergerombol, duduk, mesan makanan atau minuman, bicara, tertawa, dan seterusnya, dan seterusnya. Larut. Aku larut saja dalam suasana macam begini ini. Larut serupa larutnya gula dalam estehmanis yang baru saja kuseruput dengan straw berwarna hijau muda.

Hmmm… Seperti kukatakan tadi, aku sedang larut. Di meja sebelah kiri tempat kududuk, 7 orang anak muda menikmati berbagai minuman sambil bicara, sambil bercengkrama, juga sambil tertawa-tawa. Bermacam-macam topic mereka bicarakan. Hasil curi-curi dengar, dapat kukatakan pada kalian, bahwa mereka sedang membicarakan dance. Kadang-kadang bicara masalah seks, dan topic-topik politik ringan lainnya. Kebanyakan dari mereka membicarakan dance sebagai topic pembicaraan utama. Oya, salah satu dari mereka ada seorang gadis bule. Tapi yang paling menonjol dari mereka adalah seorang pemuda berambut gimbal dengan sandal jepit, -sebentar, aku hilang focus; seorang cewek yang baru saja lewat berjalan kaki sendiri, terlihat seksi sekali- berkaos biru muda bertuliskan KUE LAPIZ 2010 di dadanya. Di tangannya bertengger sebuah buku yang kalau aku tak salah baca berjudul Schungel Find. Dia berbicara sama si cewek bule dengan bahasa Inggris berlogat Madura. Aku pikir ia orang Madura. Itupun kalau aku nggak salah perkiraan. Sekali-kali si cewek bule tertawa ngakak mendengar obrolannya. Entah ngakak karena yang dibicarakannya itu suatu hal yang sangat lucu, atau, entah ngakak gara-gara si bule ini tidak mengerti sama sekali apa yang dibicarakan si cowok gimbal itu. Aku tak benar-benar tahu tentang itu. Apa pula aku ingin betul-betul tahu. Tak seberapa penting pun. Ada yang lebih penting dari semua hal yang kusebutkan itu. Yang penting itu, kita-kira seperti yang akan kutulis selanjutnya ini.

Bahwa apa yang dapat kutangkap di sini adalah suatu suasana yang wajar-wajar saja. Tak lebih dari suasana di tempat-tempat lain seperti di Banda Aceh sana. Semuanya, secara umum kurang lebih sama. Aktivitas berjalan sebagaimana kehendak masing-masing pelaku aktivitas saja. Yang nongkrong, ya nongkrong, yang berjalan, ya terus melangkah, dan sebagainya-dan sebagainya. Cuma di sebalik itu terdapat perbedaan yang banyak juga jika dibandingkan dengan suasana di lingkup komplek taman budaya Banda Aceh sana.

Di sini aku lebih suka membicarakan perbedaan dalam tataran suasananya, bukan perbedaan tempat secara fisik yang kalau ingin dibedakan, ya sungguh sangat jauh berbeda. Di sini, suasana yang tercipta adalah suasana yang berbaur, larut, dan ramah dengan siapa saja. Penyair, seniman, mahasiswa, tukang semir sepatu, tukang bubur ayam, abg gaul, pengamen, tukang bajaj, berbaur dalam sebuah tempat yang secara kasat mata tak ada sekat-sekat dalam aktivitasnya. Semua boleh tumpah ruah di sini. Semuanya boleh berkreasi, tebar pesona, pamer gaya, atau boleh jadi melakukan apa saja di sini. Anak-anak gelandangan yang mengemis pun boleh cari rezeki di sini. Hal keadaan ini berbeda jauh dengan apa yang ada di taman budaya kita, TBA di Banda Aceh sana. Di komplek taman budaya kita, ketika dilihat dari luar saja, itu tempat begitu eksklusif bagi orang-orang biasa. Itu tempat seperti sudah ada suatu peraturan tertulis bahwa yang boleh mengedarkan diri di situ adalah orang-orang yang sudah punya label (apakah dilabeli orang lain atau melabeli diri sendiri) sebagai seniman saja. Itu tempat begitu ekslusif bagi mereka yang kurang paham tentang seni. Itu tempat begitu asing bagi mereka, anak-anak muda yang menyukai seni, tapi belum punya karya. Itu tempat di huni oleh orang itu-itu saja. Aku pikir, taman budaya kita hanya diisi oleh segerombol orang yang punya akses dengan orang-orang pemerintahan dan berkoloni secara picis demi keagungan nama mereka saja. Tak ada event-event pencetakan kader secara blak-blakan di sana. Taman budaya kita terlihat begitu terselubung walaupun tempatnya terletak di tengah-tengah kota. Hal ini berbeda jauh dengan apa yang ada di sini. Taman Ismail Marzuki, seperti yang kurasakan saat ini begitu bebas memberikan ruang atau tempat kepada sesiapa saja yang mau berkreasi atau malah kepada mereka yang mau cari rezeki. Taman Ismail Marzuki, seperti yang kulihat sekarang, seperti dengan leluasa dapat diakses oleh siapa saja. Tidak ada suatu krama yang mengharuskan bahwa kau mesti menjadi seniman dulu untuk bisa masuk bebas ke sana. Uhmmm… Cuma mesti diingat, bahwa yang kukatakan itu adalah hal yang timbul dari sisi perasaanku saja. Yang kupaparkan ini adalah paparan subjektif yang beranjak dari pengalamanku belaka. Namun, walaupun secara subjektif begini, tentu saja dapat dipertanyakan juga, kenapa taman budaya kita, yang seharusnya digunakan sebagai tempat berkreasi bagi berbagai macam unsure di Aceh, tetapi hanya dijadikan semacam tempat reunian para seniman-seniman tua yang sudah punya nama saja? Tentang event-event, harus diakui juga bahwa di taman budaya kita juga banyak diselenggarakan. Tapi menurutku, event-event yang diselenggarakan itu lebih berkesan event seremonial, event titipan, yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Output dari event-event yang diselenggarakan orang-orang budaya kita (kembali aku pikir) adalah hanya sebatas tataran menghabiskan anggaran tahunan dan untuk dinikmati hasilnya oleh segelintir orang pula. Mungkin yang kukatakan ini adalah semacam tuduhan. Atau boleh jadi bagi orang yang punya sangkut paut dengan kekuasaan di taman budaya menjadi panas kuping dan mengklaim tulisan yang kuberitakan ini adalah semacam perasaan buruk sangka penulis saja. Menurutku, ya, biarkan saja. Toh, selama yang kutulis ini tidak bertentangan dengan norma-norma dan tatakrama kehidupan sehari-hari, sah-sah saja aku membicarakan perihal yang begini rupa.

Satu hal lagi. Ketika pertama masuk dalam komplek TIM tadi, di pintu gerbangnya kudapati sebuah acara yang digelar secara terbuka oleh beberapa aktivis TIM sendiri. Acara yang bertajuk Rakyat Bebas Bicara ini adalah wujud refleksi anak-anak TIM dalam memperingati hari pencetusan Pancasila yang sudah dirancang oleh para founding father-nya Indonesia 66 tahun lalu. Acara ini dikemas sederhana saja. Jika di gedung MPR sana acara bertema serupa digelar dengan mewah, khidmat, dan dihadiri tukang-tukang politik berdasi, di sini, di pelataran gerbang TIM ini, acara tergelar seperti dadakan saja. Tak ada panggung atau mimbar tempat pembicara bisa mengemukakan pendapatnya. Tak ada pula atap peneduh yang melindungi para peserta acara dari teriknya matahari. Semuanya berjalan dengan sederhana. Beberapa spanduk print-print-an dipajang di sana sini secara acak saja. Isi tulisan dalam spanduk pun berupa suara-suara miris tapi lantang tentang keberadaan Negara Indonesia ini yang sudah demikian runyam dengan berbagai kasus amoral para penyelenggara pemerintahannya. Bermula ini acara, seperti yang kuikuti dan kulihat secara kasat mata, adalah acara yang diikuti oleh para aktivis TIM sebagai pelaksana, dan orang-orang yang lalu lalang sebagai pesertanya. Beberapa tukang bajaj yang tongkrongannya untuk mencari penumpang di depan gerbang TIM juga terlibat sebagai peserta yang dapat menikmati guliran acara secara leluasa.

Nah, yang ingin kusampaikan dari acara yang baru saja kuikuti ini adalah suatu perbandingan dengan apa yang ada dan apa yang diadakan oleh para aktivis taman budaya kita di Banda Aceh sana. Dan seperti yang terpapar di atas, bahwa perbandingan itu adalah hanya sebatas pengalamanku saja. Jadi ini perbandingan lahir sesuai dengan peta pikiranku yang pernah beberapa kali mengikuti secara langsung acara-acara yang terlaksana di taman budaya kita. Dapat kutangkap bahwa perbandingannya suatu acara yang terselenggara di sini dan acara yang ada di banda aceh sana adalah sangat-sangat berbeda jauh bentuknya. Sekali lagi, aku tak mengangkat perbedaan fisiknya acara. Tapi aku lebih suka mengangkat perbedaan dalam tataran nonfisiknya.

Di sini acara ini diadakan dalam ruang public dan ditujukan kepada orang-orang yang beragam aktivitasnya. Di sini, acara diadakan di tengah-tengah orang yang lalu lalang, dan berbaur dengan segala lapis hidup masyarakat yang boleh jadi kebetulan sedang berada di sana. Aku membayangkan bagaimana kalau para seniman-seniman (aktivis budaya) yang ada di taman budaya kita juga melakukan hal serupa sekali-kali saja. Tak usah acap kali. Yaitu pada waktu-waktu tertentu menyelenggarakan acara-acara dengan tema tertentu di tengah-tengah ruang public yang dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat yang ada. Namun, yang kutangkap di sana, bahwa seakan-akan orang-orang budaya kita hanya akan melakukan kegiatan jika anggaran dana sudah mengalir mulus dari pemerintahan. Orang-orang kita, aktivis-aktivis budaya kita, menurutku, seperti menunggu titah seseorang yang berkuasa untuk melakukan sebuah acara. Tak ada inisiatif yang kemudian diadakan suatu kegiatan walaupun secara dadakan dan sederhana. Tak ada yang peka dengan suasana suatu berita, misalnya. Hal keadaan ini adalah sejumput perbedaan yang dapat kulihat dan dapat kureka-reka dengan analisa pikiranku sendiri.

Maka dari semua yang telah kutulis ini, intinya adalah; bahwa taman budaya kita yang walaupun terletak di tengah kota Banda Aceh, ternyata hanya boleh dikuasai oleh segelintir orang semata. Orang-orang seniman (apakah yang dilabeli atau yang melabeli diri sendiri sebagai seniman) yang terlihat malas untuk mencetak kader-kader di bawah generasinya. Orang-orang budaya yang notabenenya adalah titipan para pemangku jabatan dan mempunyai hubungan yang mesra pula dengannya. Ini tentu saja menakutkan. Karena jika ini memang benar-benar terjadi, maka tak ada lagi yang bersuara jika para pemangku jabatan duduk di kursi empuknya dengan perilaku yang semena-mena.

Halah... Aku seperti sedang berburuk sangka saja rupanya. Tapi entahlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline