Lihat ke Halaman Asli

Bocah Menanti Hujan

Diperbarui: 25 Februari 2016   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menikmati jagung hasil ladang Petani..Enak | Sumber Foto : Uran Oncu"][/caption]Hari ini langit masih bersih, sapuan angin telah membawa pergi segumal awan mendung. Ah... berharap hujan turun. Hari ini seperti hari kemarin dan sahabatnya kemarin, ya sudah sekitar satu bulan lebih hujan tidak turun lagi.

Sebentar awan mendung, hanya gerimis dan hilang entah ke mana. Syukur masih gerimis, ucap bocah kecil beseragam sekolah dasar menjawab keluhan saudaranya. Ucapan bocah menarik sebaris garis senyum ibu-ibu yang bergegas menuju ladang. Anak sekolah bergegas ke sekolah, para petani bergegas ke ladang. Semua terus bercanda, berbagi kisah juga harapan. Ya, cara berbagi kisah bergegas ke ladang, berhenti sejenak menyapa tetangga adalah warna kehidupan, terus berbunga meski tanaman jagung, padi perlahan kering dan enggan berpamit pada kelopak bunga.

Harapan itu masih ada terus mereka pelihara. Semoga hujan turun lagi. Semoga meski hasil padi jagung kurang, hasil asam dan mente bisa banyak. Para petani berharap curah hujan yang turun biar tidak banyak minimal bisa membantu pohan asam dan mente agar menghasilkan buah-buah yang cukup melimpah. Selalu ada cara mereka membangun harapan, selalu ada kata-kata sederhana terucap dan selalu ada senyum di bentangan ladang.

Sore itu di bukit batu aku memandang hamparan ladang, dipagari pohon –pohon asam. Daunnya lebat. Berdiri tenang membela kisah senja. Gelayut remang di tapak jalan bersua simponi terikan anak-anak. Berirama dengan beban sepikul kayu api mereka bergerak, terus bergerak menuruni lembah menuju garis fajar dari lengkungan langit. Dusun kecil di pinggir pantai ya ... itulah dusunku.

Barisan pohon asam itu telah sekian puluh tahun, ia telah ada, telah berbuah sejak aku masih kecil, masih bocah bertelanjang dada dengan celana peunuh tambalan. Barisan pohon itu bagaikan stasi pertama dalam ziarah menuju ladang di puncak bukit. Terbayang peluh di siang hari, syukur jika mendung atau hujan. Para boca bertelanjang dada bergegas menuju ladang menyusuli orang tua. Ada yang belajar bekerja, ada yang sekedar bermain dan terbayang aroma jagung bakar dengan teriakan dari bukti batu “ helu—helu wata nure...”.*

*hore-hore, aku punya jagung muda

Bersambung




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline