- Perjalanan Rasa, Manusia Menjadi Manusia
Puisi ditulis dengan menggunakan susunan kata estetis dan sering kali menggunakan makna kias dari si penulisnya. Sehingga harapan dari si penulis untuk menggugah dan menggerakkan hati pembacanya dalam bentuk pesan, amanat, atau pembentuk suasana hati serta pengalaman dan harapan dari penulisnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Kosasih (2012) yang menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna.
Keindahan pada puisi diraih dengan menyusun tipografi, pemilihan kata (diksi) dan penggunaan gaya bahasa seperti majas, rima, dan irama. Kekayaan makna sendiri tercipta melalui unsur-unsur pembentuknya yang dapat memancarkan pesan seperti amanat dan gagasan penggugah. Selain itu, Suroto (1989) berpendapat bahwa secara bebas dapat dikatakan bahwa puisi adalah karangan singkat, padat, pekat. Namun Pradopo (1995) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dan interpretasi dari berbagai pengalaman manusia yang penting, digubah dalam bentuk atau wujud yang paling berkesan.
Dengan kata lain, Ppisi adalah karya sastra yang berisi tanggapan serta pendapat penyair/penulis mengenai berbagai hal. Pemikiran penyair ini kemudian dituangkan dengan menggunakan bahasa-bahasa apik serta memiliki struktur batin dan fisik khas penyair. Pemikiran penyair dituliskan dengan menggunakan beragam pemilihan kata yang indah sehingga dapat memikat para pembaca. Puisi memiliki nilai estetika yang berbeda-beda bergantung penulis puisi.
Dalam kegiatan demonstrasi kontekstual penulis berusaha menuangkan harapan sekaligus muhasabah diri sebagai guru yang selaras dengan pemikiran KHD dalam filosofi pengajaran, pendidikan dan kebudayaan. Puisi merupakan jembatan bagi penulis untuk menumpahkan rasa ketika memosisikan sebagai guru sekaligus murid. Dengan puisi dan berpuisi pesan moral yang disampaikan dapat mengalir dengan indah dan berterima. Berikut adalah hasil demonstrasi kontekstual penulis.
Setelah proses memahami tentang filosofi pemikiran KHD terbersit ide tentang perjalanan rasa dari murid dan juga guru untuk menjadi manusia yang manusia. Dalam artian bahwa seyogyanya kita diciptakan menjadi manusia maka di perjalanan kehidupan baik akademis, sosial, beragama, berpolitik, berekonomi dan berbangsa juga harus sebagai manusia. Manusia yang beradab, manusia yang bernorma, manusia yang berbudaya, dan manusia yang manusia.
Harapannya dengan puisi ini akan mengetuk batin para guru sebagai jembatan muridnya menentukan arah, tujuan hidupnya dan menjadi penerang dalam perjalanan pahit-getir, susah-senang murid dan rekan sejawat dalam membiasakan pengajaran, pendidikan yang baik dan bermuara sebagai manusia yang berbudaya nasional. Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dengan segala arah sejarahnya, layak untuk dijaga dan dibanggakan sebagai wujud kelestarian bangsa Indonesia dalam berbahasa. Seperti yang kita tahu bahwa ragam bahasa di bumi Indonesia sangat banyak dan bervariasi. Dengan dialek yang mencirikan leluhurnya dan bangga akan sejarah, budaya, seni, dan kearifan lokal daerah masing-masing namun masih terkumpul, terikat erat dengan bahasa Indonesia.
Puisi Perjalanan Rasa ini, merupakan gambaran beragam rasa yang dapat mampir di hati guru mau pun murid-muridnya. Sehingga melatih olah pikir, olah rasa, olah cipta bagi yang mengalaminya. Jika semuanya berpulang pada olah rasa, maka olah cipta dan karsa akan selaras mengiringi perjalanan rasa yang menunjukkan akan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan tidak. Berpulang pada bahwa manusia tidak bisa apa-apa kecuali dengan campur tangan daya dan kekuatan dari Tuhannya.
Tantangan dalam demonstrasi kontekstual ini adalah bagaimana membiasakan kegiatan murid yang berpegang teguh pada kekuatan budaya dan kearifan lokal kabupaten Purbalingga. Akhir-akhir ini budaya Hollywood, Bollywood, Jepang, Korea pelan-pelan secara tidak sadar menggerus rasa bangga akan budaya dan seni di daerah asal. Hal ini menjadi keprihatinan bagi kami sebagai guru. Bagaimana asosiasi keduanya, yaitu seni budaya lokal mampu berkawin dengan budaya luar dengan bijaksana. Dengan kata lain adanya proses berkawan dalam budaya sehingga seni dan budaya tersebut akan terus ada dan terjaga kelestarianya. Hal demikian perlu melibatkan pemerintah daerah, para seniman dan budayawan lokal. Selain itu, mengajak generasi muda atau murid-murid untuk senantiasa peduli, simpati dan bangga akan seni dan budaya lokal. Karena sejarah leluhur dengan muatan moral yang luhur akan menjadi jembatan berubahnya pola pikir dan akan menjadikan salah satu cara generasi muda lebih produktif sebagai pemerhati dan agen pelestarian seni dan budaya tersebut dengan kemasan yang sesuai zaman milenium sekarang.
Di samping itu, guru di dalam kelas baik dari tingkat TK, SD, SMP, SMA dapat melakukan apersepsi dalam proses pembelajaran dengan refleksi setiap minggunya atau hari. Baik dari kegiatan mendongeng tentang mitos, legenda dan cerita rakyat daerah. Hal ini bertujuan bukan untuk mengenalkan yang nalar logisnya masuk namun lebih kepada bahwa dongeng itu memberikan nilai moral di dalamnya. Hikmah-hikmah baik dalam penyelarasan alam semesta beserta isinya harus di jaga untuk bumi yang lebih bermanfaat dan memberikan dampak baik bagi semesta raya.
Kalau bukan generasi muda masa kini yang dikenalkan sebagai agen pembawa kelestarian dalam transformasi pendidikan, seni, budaya dan budaya nasional nantinya, maka kita harus senantiasa mengoneksikan hubungan sejarah, budaya leluhur yang perlu dibangun untuk bertumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam dan kodrat zaman. Maka dengan berpuisi murid akan menjadi lembut budinya, sehingga mencapai puncak dengan memiliki karakter yang lebih baik, lebih baik lagi di setiap pergantian hari dalam hidupnya.