Sebagai agama, Islam tentunya lebih dikenal dengan konsep ke-Tuhanan-nya daripada politiknya. Ia lahir sebagai penyeru agama Allah untuk menata kembali agama samawi yang telah diubah dari bentuk aslinya. Dari agama monoteis menjadi bentuk agama politeis. Akan tetapi, ada asumsi kuat terutama dari kalangan orientalis Barat bahwa Islam tidak memiliki sistem perpolitikan yang jelas sesuai dengan ajaran-ajarannya. Asumsi demikian, menyebabkan ajaran Islam tidak mendapatkan proprosionalitasnya sebagai sistem ajaran moral dan etika bernegara dalam tatanan dunia saat ini. Lebih jauh, Islam dianggap sebagai agama yang kuno, terbelakang, dan tidak relevan untuk mengiringi dinamika jaman.
Tentu saja, hal ini bertolak belakang dengan realitas sejarah Islam masa silam. Dalam catatan sejarah, di bawah komando Rasullah SAW., Islam datang membawa hal-hal baru tentang hidup bermasyarakat sehingga menjadikannya lebih beradab dan modern. Hal ini dapat kita baca dalam dokumen Piagam Madinah. Dokumen ini adalah salah satu bukti tertulis bagaimana Rasullah SAW., memulai membangun sistem bernegara dengan asas Islam yang toleran dan modern sebagaimana yang menjadi rujukan sistem pemerintahan era kini. Tidak heran, jika kemudian masa-masa ini dinamakan sebagai negara Islam.
Untuk mengenal lebih jauh bentuk negara Islam yang bisa mewakili eksistensinya di era sekarang dan bagaimana konsep pemerintahannya, serta kekhalifahannya, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mendedah kembali sejarah negara Madinah dari mulai terciptanya akad kontrak sosial dan pembuatan undang-undang dasar negara sebagai pengatur sistem ke-pemerintahan, sebagaimana prinsip utama berdirinya negara di era modern.
Dan prinsip ini harus dimiliki dulu oleh masyarakat sebelum membangun negara, jika tidak, ia akan sulit mendapatkan pengakuan secara resmi oleh negara-negara lainnya. Baik diakui secara de facto maupun de jure. Karena Hal tersebut akan menjadi identitas negara untuk bisa bersanding dengan negara-negara lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh negara Indonesia saat mendeklarasikan prokalamsi kemerdekaan di Jakarta oleh IR. Soekarno untuk mendapatkan pengakuan secara resmi oleh dunia. Dari pemahaman ini, kita akan menyulusuri piagam madinah sebagai akad kontrak sosial dalam standar-standar era modern tentunya dan pandangan kenegaraan pada umumnya.
Piagam Madinah dan Standar Konstitusi Era Modern
Hidup tak selamanya berwajah sama, sewaktu-waktu bisa berubah diluar kontrol manusia, bisa berupa kesedihan maupun kegembiraan. Hal ini sejak masa dahulu telah ada. Para agamawan menyebutnya sebagai ‘hikmah’ dari Tuhan. Seperti halnya, kematian persiden Anwar Sadad, misalnya, memberikan hikmah kepada pemerintah Mesir untuk meningkatkan keamanan publik dengan mengalihkan pusat pemerintahan di berbagai tempat. Begitu juga kasus bom Bali 1 dan 2 di Indonesia, mengispirasi pemerintah Indonesia dalam meningkatkan keamanan sosial dengan membentuk densus 88 dalam menangani serangan-serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris.
Sebagai pusat control masyarakat, pemerintah tentunya telah menyadari hal itu, kejadian-kejadian mendadak yang bisa mengacaukan ketentraman negara bisa diselesaikan dengan baik. Dengan adanya konstitusi sebagai landasan negara, pemerintah dengan mudah bisa menentukan sikap jika tiba-tiba ada kasus yang terjadi di masyarakat.
Dari sini, kita bisa menemukan fungsi pemerintah sebagai nyawa negara dan fungsi konstitusi sebagai panca indra negara. Tanpa keduanya, tentunya kejadian yang saya contohkan di atas akan membuat kontruks masyarakat menjadi terbelah. Satu kelompok acuh tak acuh, sedangkan komunitas lain merebutkan kekuasaan untuk saling menguasai. Dan generasi masyarakat dalam kasus ini akan sendiri punah dengan saling berperang dan menghakimi menurut keinginan mereka sendiri.
Sebagaimana yang terjadi masa silam, masyarakat Yastrib sebelum datangnya Rosullah Saw.,saling bermusuhan demi membalaskan dendam saudaranya yang dibunuh, percaya dengan takhayul dan masih dalam bentuk kabilah . Dalam konteks ilmu sosial, hal ini sungguh primitif sekali, menyelesaikan masalah hanya menggunakan adu kekuatan dan emosi kemarahan. Seperti yang dikatakan August Comte dalam karyanya De Philosophie Positive bahwa manusia pada tahap primitif meyakini bahwa alam dengan manusia mempunyai kesamaan atau kehendak untuk bertindak seperti mana halnya manusia. Ada perasaan dalam dirinya kekuatan alam yang akan membantu dirinya. Seperti kepercayaan animism dan dinamisme. Kemudian Islam datang, sistem kabilah dan penjajahan dilenyapkan dari kehidupan masyrakat Yastrib. Ini dalam teori lanjutan August Comte sebagai fase perubahan menuju masyarakat modern. Karena pada fase ini masyarakat Yastrib telah dikenalkan dengan teologis, metafsis dan positif.
Perubahan fase ini ditandai dengan lahirnya piagam madinah sebagai akad kontrak sosial untuk bersatu dan memilih seorang pemimpin untuk mereka. Sebelum lahirnya piagam madinah ini, sebagian dari penduduk Yastrib melakukan gerakan stimulant politik berupa perjanjian aqobah pertama dan kedua dengan Rosullah Saw.,fakta ini semakin menguatkan bahwa negara Madinah sebagai negara modern telah melalui tahapan-tahapan yang semestinya. Seperti mana yang diteorisasikan oleh intelektual barat tentang perubahan masyarakat primitif ke modern.
Terlebih lagi, akad kontrak itu dijadikan sebagai rujukan ketika ada konflik di antara mereka. Hal ini sesuai dengan fungsi konstitusi untuk mendamaikan konfik yang terjadi. Beserta di ubah pula nama Yastrib menjadi Madinatur Rosul. Bagi saya perubahan nama ini cenderung sebagai proklamasi berdirinya negara Islam. Meski pada umumnya, para orentalis menolak mengakui itu.