Lihat ke Halaman Asli

Yuk Kenalan dengan Profesi Editor, Ada yang Tertarik?

Diperbarui: 26 Mei 2024   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

instagram Cak Kaji

Profesi editor masih sangat relevan di zaman sekarang, terutama dengan semakin banyaknya konten yang diproduksi secara digital. Editor dapat bekerja di berbagai bidang, termasuk penerbitan buku, media daring, produksi video, dan lainnya. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan kualitas, konsistensi, dan kesesuaian konten dengan target audiensnya.

Nah dalam IG Live 25 Mei 2024 Bersama Cak Kaji alias komunitas Kompasianer Jatim, banyak hal yang aku pelajari dari Mas Rudi  sebagai narasumber kali ini. Temen-temen penasaran nggak sih apa saja? Yuk simak postinganku kali ini. 

Gimana ceritanya Mas Rudi bisa kerja jadi editor? Kenapa sih pilih profesi ini?

Awal mula tertarik jadi editor setelah ikut peluncuran buku NH Dini pada awal kuliah. Novelis gaek ini bilang bahwa karyanya bisa tampil bagus berkat tangan dingin seorang editor. Di balik buku yang bagus, ada kontribusi penyunting yang sudah berjuang membuat naskah menjadi menarik.

Bisa diceritakan pernah ngedit buku dari penerbit mana aja? 

Kalau inhouse, pernah kerja di penerbit buku sekolah, lalu pindah ke penerbit buku populer, yakni genre motivasi dan bisnis. Untuk freelance, pernah ikut ngedit kamus Indonesia-Inggris Hassan Sadily & John M. Echols terbitan Gramedia, seneng karena panduannya jelas dan honornya cepat cair.

Beda ngedit buku sekolah dan buku umum 

Buku sekolah lebih banyak elemennya, terutama rubrik untuk memperkaya materi pelajaran. Belum lagi contoh soal dan pembahasannya, harus teliti. Editor buku sekolah juga harus mencari foto-foto yang diperlukan untuk mendukung naskah. Atau kalau bentuknya ilustrasi, ya editor memesan kepada ilustrator dengan deskripsi yang detail. Tugas lebih rumit kalau buku yang diedit adalah buku proyek karena biasanya sangat lengkap, termasuk indeks dan glossary.

Yang tak kalah penting, menyesuaikan konten buku dengan panduan Pancasila agar tidak sampai melanggar HAM, sensitivitas gender, menyinggung isu SARA atau yang bermuatan pornografis.

Kalau buku umum lebih luwes, fokusnya adalah menyajikan buku seenak mungkin dengan ide-ide yang lebih kaya dan kekinian sesuai dengan kebutuhan pembaca. Intinya, banyak inovasi atau gebrakan yang bisa dilakukan saat mengemas buku umum ketimbang buku sekolah -- walau tentu saja isu SARA tetap diperhatikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline