Lihat ke Halaman Asli

Unu Nurahman

Guru SMAN 1 Leuwimunding Kabupaten Majalengka dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Sebelas April Sumedang

Radikalisme Pelajar: Tantangan Krusial Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 8 April 2024   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

klikwarta.com

Usia remaja atau pelajar yang sedang dalam pencarian jatidiri, sangat rentan dengan radikalisme, Hal itu merupakan suatu tantangan dan pendidikan karakter (character education) diyakini sebagai cara efektif untuk menangkalnya.

 

Oleh Unu Nurahman

Guru Penggerak SMAN 1 Leuwimunding -Majalengka

Dosen FIB Unsap Sumedang

Perkembangan radikalisme pelajar sangat menghawatirkan dan sudah seharusnya mendapat perhatian intensif dari pemerintah. Sebagaimana dilansir dari Pikiran Rakyat (06/10/2021) puluhan pelajar di Kabupaten Garut – Jawa Barat terpapar paham Negara Islam Indonesia (NII) bahkan salah satunya sedang mengumpulkan uang untuk membeli senjata. Bahkan pada tanggal 29 Oktober 2019, Wali Kota Bandung Oded M. Danial yang mengutip data dari kepolisian  menyebutkan sekitar 600 pelajar di Kota Bandung terindikasi terpapar paham radikal.

Usia remaja yang secara psikologis sedang menghadapi proses pencarian identitas diri (self-identity) memang sangat rentan dengan radikalisme. Pada proses ini mereka sering mengalami intimasi yang dilandasi oleh komitmen, pengorbanan dan kompromi sehingga akan menaruh kepercayaan penuh kepada mentor atau orang yang menjadi idolanya.

Guru dan pelajar harus memahami bahwa pelaku radikalisme dalam merekrut pelajar biasanya menggunakan beberapa narasi seperti  mengungkapkan ketidakadilan dari kebijakan pemerintah dan pembangunan nasional, menghidupkan kembali konsep Negara Islam Indonesia. mengungkapkan dendam dari peristiwa bersejarah, mengglorifikasi tokoh tokoh kekerasan sebagai pahlawan, menanamkan doktrin agama yang fanatik, intoleran dan ekslusif serta berhaluan garis keras atau menganggap kekerasan sebagai solusi permasalahan yang dihadapi.

Media sosial sering digunakan sebagai media indoktrinasi dan perekrutan. Para remaja yang merupakan pengguna aktif dapat mengakses chanel yang memuat konten radikalisme. Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Komjen Boy Rafli Amar dalam Rapat dengan Komisi III DPR pada tanggal 25 Januari 2022 menjelaskan bahwa setidaknya ada 600 akun berpotensi radikal di internet.  Akun berisi 650 konten propaganda dengan perincian 409 bersifat umum atau informasi serangan, 147 konten anti NKRI, 85 konten anti Pancasila, 7 konten intoleran, dan 2 konten berkait paham Takfiri.

Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme memberi 4 kriteria radikalisme yaitu anti Pancasila, anti Kebhinekaan, anti NKRI dan anti UUD 1945. Mahfud MD  sebagaimana ditulis di Beritasatu.com (14/03/2022) menjelaskan tiga tingkatan radikalisme. Pertama, tingkatan jihadis yaitu tingkatan paling ekstrem yang tidak segan membunuh orang yang tidak sepaham atau menghalangi terwujudnya paham mereka. Kedua, tingkatan takfiri yang memandang paham lainnya sesat, kafir harus dijauhi bahkan dimusuhi meskipun dalam lingkup satu agama. Ketiga, paham radikalisme ideologis yang menganggap merekalah yang paling benar dan menyalahkan faham orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline