Lihat ke Halaman Asli

Ironi Negara Kaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negara Indonesia memiliki hutang ribuan trilyun, hutang tersebut dipelihara terus menerus oleh pemerintah kita. Tidak ada ada dibenak mereka bagaimana supaya hutang tersebut lunas secepatnya. Yang ada dibenak sebagian besar mereka, bagaimana kekuasaan itu bertahan atau dilanjutkan oleh keturunan atau orang yang sekelompok dengannya. Ditengah lilitan hutang yahudi yang banyak, ada begitu banyak kekayaan Negara kita yang jumlahnya ribuan kali lipat dari jumlah hutang Negara kita. Tetapi tragis, kekayaan kita itu dengan mudahnya disedot penjarah asing. Aksi penjarah asing tersebut cukup mudah, mereka cukup memberikan dukungan kekuasaan pada pengkhianat bangsa.

Logikanya, pemimpin pandir pasti ingin berkuasa lebih lama dengan menghalalkan berbagai cara, salah satunya mengorbankan rakyat dengan memberikan kekayaan Negara kepada Negara penguasa dunia agar kekuasaanya selalu didukung dan bertahan.

Melihat hasil tambang di Timika, salah satu tambang kita yang disedot asing sangat miris bagi rakyat Indonesia, khususnya Rakyat Papua. Papua sebagai daerah terkaya memiliki penduduk paling melarat di negeri ini. Hasil yang telah dikeluarkan tampang Freeport di Papua seharusnya mampu mensejahterakan seluruh rakyat indonesia. Dengan kekayaan tersebut rakyat di Negara ini tidak perlu bekerja mencari nafkah, dengan kekayaan tersebut kita bisa mendatangkan pekerja dari luar negeri. Inilah akibat pemimpin berasal dari golongan nggak mikir, yang seharusnya cocoknya jadi pekerja kasar, karena golongan nggak mikir di Negara ini adalah mayoritas, maka mayoritas memilih yang berasal dari golongannya, dan terpilihlah pemimpin nggak mikir. Tambah melaratlah Negara ini dibuatnya.

Sejak dahulu sampai kini, mayoritas presiden dan elit berasal dari suku jawa, keadaan bangsa tidak juga berubah ke arah yang lebih baik. Seharusnya mereka sadar, bahwa mereka memang tidak mampu berpikir sebagai seorang pemimpin, seperti ungkapan presiden “nggak mikir” yang ada hanya kerja, kerja dan kerja. Seorang pemimpin harus banyak berpikir dari pada bekerja, budaya suku jawa didominasi budaya banyak bekerja daripada budaya banyak berpikir. Jadi kesimpulannya orang jawa yang notabenenya memiliki watak pekerja tidak akan sanggup memimpin Negara yang terdiri dari berbagai jenis suku ini, serahkan kepada ahlinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline