Lihat ke Halaman Asli

Untung Wahyudi

Penulis Lepas di Beberapa Media Cetak dan Online

Islam Bukan Agama yang Egois

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

140883807934945514

Judul: Muslim Kok Nyebelin?

Penulis: Satria Dharma

Penerbit: Bunyan, Yogyakarta

Cetakan: Pertama, Desember 2013

Tebal: x + 254 Halaman

ISBN: 978-602-7888-68-5

Umat Islam kembali diuji. Belum hilang anggapan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan karena berbagai peristiwa pemboman beberapa tahun silam, saat ini dunia kembali dibuat heboh dengan munculnya State of Iraq and Syria (ISIS). Kehadiran gerakan ini ditengarai akan mengancam stabilitas keamanan dunia karena doktrinnya yang dianggap ektrem dan radikal dalam menghadapi pelbagai permasalahan.

Baru-baru ini media di tanah air banyak memberitakan tentang keberadaan ISIS, terutama sejak gerakan ini mulai datang ke Indonesia. Berbagai opini pun muncul. Dari yang menentang keras, hingga yang secara “diam-diam” mendukungnya. Sebagian ormas Islam Indonesia menganggap bahwa ISIS adalah bentukan Amerika dan Yahudi yang memang sengaja ingin merusak citra Islam di dunia. Sehingga, umat Islam diminta untuk tidak terpengaruh apalagi mendukung kehadirannya.

Satria Dharma lewat buku Muslim Kok Nyebelin? mencoba menyampaikan otokritik terhadap berbagai permasalahan umat Islam yang sampai saat ini menjadi perbincangan. Dari masalah sosial, agama, politik, hingga tentang keberagaman. Dalam tulisan-tulisannya ini, Satria Dharma mengajak pembaca untuk kembali membuka pikiran tentang pelbagai permasalahan yang terjadi.

Pentingnya memahami keberagaman dikupas penulis dalam tulisan berjudul “Mengajarkan Keberagaman kepada Anak”. Menurut penulis, mengajarkan keberagaman melalui pendidikan multikultural semakin penting bagi bangsa Indonesia guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan pola pikir siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Selain itu, pendidikan model ini bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan (halaman 219).

Dalam bab ini penulis mengingatkan pembaca bahwa di berbagai daerah masih banyak konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Dari masalah suku, golongan, hingga tentang perbedaan keyakinan. Hal ini penting diajarkan sehingga tidak akan terjadi lagi konflik yang mengatasnamakan SARA.

Dalam tulisan “Coca-Cola dan Yahudi” penulis juga menyampaikan kritiknya tentang orang-orang yang dengan mudahnya mengajarkan kebencian kepada anak-anak. Hal ini dialami sendiri oleh Satria Dharma ketika mengetahui bahwa anaknya yang baru datang dari sekolah langsung “menodongnya” dengan pertanyaan sekaligus pernyataan yang membuatnya terperangah. Anaknya bilang bahwa ternyata logo Coca-Cola itu kalau dibalik menjadi ‘La Muhammad, La Mecca’. Anaknya yanga baru duduk di bangku sekolah dasar itu juga mengetahui bahwa Coca-Cola adalah produk Yahudi yang harus dibenci sekaligus dimusuhi.

Satria Dharma sadar bahwa ternyata sudah ada orang yang memasok “materi politik” kebencian kepada anak-anak sekolah. Menurutnya itu sangat merisaukan, karena sudah termasuk hate and racial content yang berbahaya. Dan, dia tidak ingin anak-anaknya teracuni masalah-masalah politik “berbau” rasial seperti itu.

Tulisan yang ditulis penulis dalam bab di atas berkaitan erat dengan permasalahan yang sampai saat ini belum selesai, yaitu tentang konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Memang kenyataan itu benar adanya. Bahwa konflik itu telah menelan banyak korban terutama pada saat Ramadan kemarin. Namun, yang perlu diketahui adalah bahwa konflik Israel-Palestina bukan semata-mata masalah agama, tetapi juga politik. Yang menjadi korban bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga nonmuslim. Maka, rasanya tidak pantas bagi orang dewasa (orangtua dan pendidik) untuk mengajarkan kebencian kepada anak-anak (halaman 172).

Selain tentang berbagai masalah di atas, penulis juga memaparkan tentang bagaimana seseorang untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan peristiwa ketika Nabi Muhammad mencium tangan sahabat Sa’ad bin Mu’adz. Ketika berjumpa dengan Sa’ad, Rasulullah Saw. melihat betapa tangan Sa’ad kasar, kering dan kotor. Ketika ditanyakan penyebabnya, Sa’ad menjawab bahwa tangannya menjadi demikian karena bekerja mengolah tanah dan mengangkut air sepanjang hari. Mendengar itu, beliau serta-merta mencium tangan Sa’ad dan menyatakan, “Tangan ini dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta tidak akan disentuh api neraka.” (halaman 47).

Secara keseluruhan buku setebal 254 halaman yang dikupas dengan pembahasan yang ringan namun penuh makna dan pembelajaran ini mengajak pembaca berpikir dan berintrospeksi dalam pergaulan sehari-hari. Bahwa penting bagi umat Muslim untuk menjunjung nilai-nilai keislaman dan mempraktikkannya dalam kehidupan. Terutama bagaimana agar bersikap toleran dengan menghargai perbedaan dan menghindari berbagai praktik kekerasan. Sudah saatnya umat Muslim menunjukkan eksistensinya bahwa Islam itu bukanlah agama yang mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama yang datang sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lilamin). [*]

*) Untung Wahyudi, Lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline