Judul: Diorama Rasa
Penulis: Fadhila Rahma
Penerbit: Bunyan, Yogyakarta
Cetakan: Kedua, April 2014
Tebal: x + 370 Halaman
ISBN: 978-602-291-008-4
Status janda sering kali menjadi momok menakutkan bagi seorang perempuan. Penilaian masyarakat terhadap perempuan yang gagal mempertahankan pernikahan masih saja buruk. Sehingga, kaum perempuan harus “ekstra waspada” agar suami mereka tidak terjerat “rayuan” si janda. Padahal, status janda bukanlah aib. Justru, perempuan yang bercerai dengan suaminya itu akan lebih terhormat jika mampu menjaga diri, menjaga pergaulan, serta menjaga kehormatannya sebagai perempuan.
Sosok perempuan tegar berstatus janda inilah yang dikisahkan Fadhila Rahma dalam Diorama Rasa, novel yang keluar sebagai pemenang kedua “Lomba Menulis Novel 1000 Wajah Muslimah” yang diadakan penerbit Bentang Pustaka. Fadhila Rahma mengisahkan sosok perempuan bernama Kara yang tetap optimis menghadapi hidup meskipun menyandang status janda.
Pernikahan Kara yang kandas baru dijalaninya kurang lebih selama enam bulan. Pernikahan yang diharapkan berakhir sampai mereka tua itu ternyata tidak sesuai dengan harapan. Sehingga, perceraian pun takbisa dihindarkan. Untuk menenangkan diri, Kara memilih hidup mandiri dengan bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Dia tidak mau jadi beban bagi orangtuanya. Dia tahu orangtuanya kecewa sekaligus sedih melihat rumah tangga Kara berakhir dengan perceraian.
Sejak itulah Kara benar-benar berusaha menjaga sikap. Pekerjaannya yang lebih banyak di luar untuk bertemu para klien dijalaninya dengan penuh semangat. Meskipun begitu, dia berusaha menjaga jarak dengan para klien-nya, apalagi sejak orang-orang tahu bahwa dia seorang perempuan single yang baru saja bercerai.
Hingga suatu waktu, di sebuah kafe Kara bertemu dengan Adrian. Lewat waiter kafe langganan Kara, dia mengenal laki-laki itu. Awalnya Kara menganggap pertemanan itu hal yang biasa. Tetapi, ternyata Adrian nekat ingin mengenalnya lebih jauh, bukan sekadar teman.
Kara tak habis pikir, kenapa ada laki-laki senekat itu berterus terang. Apakah karena Adrian bukan lagi remaja abege yang ingin berpacaran, sehingga dia lebih memilih hubungan yang serius? Kara terus memikirkan kata-kata Adrian di kafe. Dia sendiri tidak bisa membohongi perasaannya, bahwa Adrian adalah sosok yang mampu menghadirkan perasaan lain dalam hatinya. Kara merasa, semangat Adrian untuk mengenalnya lebih jauh adalah pertanda bahwa laki-laki itu tidak main-main dengan niatnya.
Kara pun menyanggupi permintaan Adrian dengan berbagai syarat. Kara berterus terang bahwa dia sudah pernah menikah. Adrian tidak masalah. Bagi Adrian menikahi perempuan yang sudah pernah menikah bukanlah halangan untuk menjegal niatnya untuk menikah, sesuatu yang telah lama diimpikannya, juga kedua orangtuanya. Syarat lain Kara, dia akan memilih suami yang bisa menjadi imam baginya. Bisa mengaji, ibadah yang rajin. Dan, yang terpenting adalah ibu Adrian menyetujui mereka.
Syarat terakhir membuat Adrian mendadak pias. Dia sendiri belum yakin ibunya akan setuju jika tahu kalau Kara sudah pernah menikah. Untuk itu, Adrian mengajak Kara untuk mengenal keluarganya. Setelah diatur, Kara yang didampingi kakaknya diajak Adrian untuk menghadiri sebuah pengajian akbar di Yogyakarta. Kara dan kakaknya berangkat dari Solo, tanah kelahiran Kara.
Pertemuan pun berlangsung sebelum acara pengajian dimulai. Satu persatu Adrian mengenalkan keluarga besarnya. Adrian juga mengenalkan Kara dan kakaknya, sebagai perwakilan orangtuanya. Kara melihat sikap ibu Adrian biasa-biasa saja. Memang, sikapnya sangat ramah, khas perempuan Jogja. Namun, sepertinya Kara tidak melihat ekspresi ketertarikan di wajah ibu Adrian.
Sepulangnya dari acara pertemuan itu, Kara menyendiri. Kakaknya melihat sikap Kara dan berusaha menenangkan. Kata kakak Kara, perjuangan baru dimulai. Langkah selanjutnya adalah bagaimana agar Kara bisa meluluhkan ibu Adrian, supaya ibunya setuju jika Adrian menikah dengannya. Namun, Kara tidak mau bersikap egois. Sebagai perempuan, dia paham bagaimana perasaan ibu Adrian. Seorang ibu, pasti mengharapkan anak laki-lakinya yang masih bujang, menikah dengan perempuan yang juga masih lajang, bukan seperti dirinya yang telah menikah.
Kara berusaha menyibukkan diri dan tenggelam dalam pekerjaannya. Dia berusaha untuk tidak menghubungi Adrian. Begitu juga Adrian. Dia tidak menghubungi Kara sejak acara pertemuan dua keluarga itu. Hingga pada suatu malam, Chopi, adik Adrian yang memang sekantor dengan Kara memberi kabar bahwa dia butuh bantuannya dalam acara wisuda Chopi. Menurut Chopi, entah bagaimana ceritanya, koper yang berisi pakaian ayah dan ibunya tertukar di pesawat. Sehingga, Chopi bingung bagaimana orangtuanya menyiapkan segala sesuatu untuk acara wisuda keesokan harinya.
Kara tidak mempunyai pilihan. Sebelum dia menjalani hubungan dengan Adrian, selama ini Chopi memang telah dianggapnya adik sendiri. Jadi, dia merasa bertanggungjawab untuk membantu kesusahan Chopi. Kara akhirnya mengontak semua kenalannya, terutama ibu-ibu pensiunan pegawai yang pernah menjadi klien-nya. Untunglah, mereka menyanggupi dan Kara menemukan beberapa pakaian yang diperlukan Chopi untuk orangtuanya.
Chopi dan ibunya senang bukan main karena ada yang membantu mereka mencarikan pakaian untuk acara wisuda Chopi. Setelah melihat ibu Adrian mencoba beberapa pakaian yang dibawanya, Kara akhirnya pamit. Meskipun sedikit canggung karena sudah lama tidak saling kontak, Adrian menawarkan diri untuk mengantarkan Kara. Tapi, karena Kara membawa mobil sendiri, Adrian hanya membuntutinya sampai Kara tiba di kosannya.
Bagaimanakah hubungan Kara dan Adrian selanjutnya? Apakah dengan bantuan Kara mencarikan pakaian untuk keperluan wisuda adik Adrian, ibu Adrian luluh dan mengganggap bahwa Kara adalah perempuan perhatian dan penuh tanggungjawab?
Kita bisa menemukan jawaban dari teka-teki perjalanan cinta Kara dan Adrian dalam novel ini. Fadhila Rahma akan mengajak kita bertualang dalam kisah cinta yang penuh perjuangan. Teknik penulisan yang menggunakan PoV orang pertama (Kara dan Adrian) yang dikemas dalam dua bagian dengan dobel kover, menjadikan novel ini nampak istimewa. Pembaca akan mengetahui kisah Kara dan Adrian dalam bagian dan angle yang berbeda.
Novel ini mengajak pembaca untuk tidak menyerah memperjuangkan cinta. Bahwa memperjuangkan cinta adalah sebuah keniscayaan. Cobaan yang menghadang bukanlah halangan yang akan meruntuhkan bangunan cinta yang dibangun oleh dua insan. Sebaliknya, ujian dan cobaan itu harus dihadapi, sehingga kelak akan tercipta kisah cinta yang tidak biasa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H