Lihat ke Halaman Asli

Musafir Pipit

Diperbarui: 10 Maret 2016   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kala itu umur kita masih belasan tahun. Hidup sebagai dua sekawanan penggembala di sabana bukit yang sempit namun serasa selapang langit. Di banyak waktu itu kita selalu menyempatkan melihat pipit-pipit mematuki biji rumput dan membiasakan hidup dengan kebahagiaan menengadah gerimis sebagai lantunan doa, sambil menggegam butiran embun yang pecah diujung daun sebelum tangan kita menyentuhnya. Juga masih kuingat kau menangis karena kupu-kupu yang menjauhimu untuk kau bawa memeluk senja sambil menamai alam sekata-kata.

Kau sebut jiwamu pythagorian sehingga kau katakan bukit tempatku menyadap enau yang tropis ini dengan Samos. Kau merindukan musim dingin yang beku mejelang kemaru yang pelit gerimis dan untuk mengobati luka itu kau melukis sebuah kota yang diselimuti warna putih seprti lautan kapas.

Padahal aku sudah memberinya nama Elea, nama yang menurutku cantik. Cantik dalam keindahan persepsiku sebagai zenoik, yang menyatakan terjadinya “ada” kerena kenyataan diam. Seperti ketika kau menjumpaiku dan kita bertemu, yang membuat terjadi pertemuan itu karena aku diam ditempatku, bukan karena gerakanmu mendekatiku. Entah mengapa aku selalu terbenam dalam keyakinan bahwa diamlah semua dunia kita menjadi ada.

Kala itu, kau membantahnya dengan kemesraan argumentasi rasionalmu yang menyandarkan kaligrafi angka dan teorama ilusi logika-logika, yang bergerak atas nama kehendak ruang dan sisi. Hidup bagimu adalah semua yang ada dan nyata, diluar itu tak ada pengakuan kehidupan.

Mungkin kau masih mengingat ketika aku begitu dekat dengan wajahmu, dan mengatakan pertanyaan yang tak pernah bisa kau jawab,dalam nafasmu yang panjang,

“Berapa kubik cintamu pada sebuah diskon dasi kupu-kupu Mie?”

Kau hanya tersenyum, lalu bibirmu yang mirip cuilan bulan itu melenyapkan segala jawaban. Kau sejenak menatapku sambil mengucapkan kata yang membawa kehangatan,

“Panta rhei” bisikmu syahdu.

Lalu kita bisu dalam gulatan filotes yang menyatukan, dalam kedaulatan cinta yang melekatkan. Kita terus bersemi, dengan keyakinan panta rhei mu yang kau maknai mengalir.

oOo

Di ujung musim hujan yang dingin kita berpisah bersama harapan bertemu kembali dengan kenyataan yang lebih indah. Kau pergi dengan tak berair mata. Dan aku melepasmu dengan sebuah kata  dalam hati ;  yang berlalu berlalulah, yang ingin kembali kembalilah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline