Pelan tapi pasti, pasar tradisional dan pedagang kecil mulai dimarginalkan oleh sekian banyak pihak. Oleh masyarakat, pasar tradisional mulai ditinggalkan karena berbagai sebab: menjamurnya pasar modern, minimnya fasilitas, harga yang kurang kompetitif, hingga berbagai praktik kecurangan—baik karena lemahnya pengawasan maupun kesadaran pedagang itu sendiri.
Sering kita lihat dalam siaran televisi, berbagai praktik kecurangan kerap terjadi di pasar tradisional, seperti mengurangi timbangan, menjual makanan mengandung bahan berbahaya seperti borax dan formalin, hingga mengoplos daging sapi dengan daging babi.
Oleh pedagang sendiri, karena omzetnya semakin menurun profesi pedagang pasar mulai tidak menarik sebagai sumber penghidupan. Menurut Ngadiran, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), banyak pedagang pasar yang gulung tikar dan beralih profesi, atau ada juga yang berdagang di pasar dengan bekerja sambilan.
Sementara dari sisi pemerintah sendiri yang tak kunjung mengeluarkan regulasi yang mendukung kondusifisme pengembangan pasar-pasar tradisional, namun justru menyediakan ‘karpet merah’ bagi tumbuh-kembangnya mall dan hypermart menambah jurang kesengsaraan pedagang pasar tradisional. Marginalisasi pasar tradisional dalam spektrum makro-ekonomi bangsa mau tak mau menjadi titik perhatian kita bersama.
Omzet Pasar Tradisonal Kian Menurun
Studi tentang terancamnya pasar tradisional karena penertasi massif ritel modern, sejatinya bukan barang baru. Studi AC Nielsen (2005) menunjukkan membesarnya volume ritel modern di satu sisi, justru melemahkan ritel tradisional. Berdasarkan studi tersebut, jumlah ritel tradisional pertumbuhan stagnan pada kisaran 3%. Lebih memprihatinkan, omzet pasar tradisional justru menurun. Menurut APPSI (2004), 7 pasar tradisional di DKI Jakarta telah pailit, yaitu Blora, Cilincing, Cipinang Besar, Kramat Jaya, Muncang, Prumpung Tengah dan Sinar, serta hampir semua pasar tradisional di DKI Jakarta mengalami penurunan sampai 75%.
Studi terbaru Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2011) menemukan bahwa ritel tradisional di Yogyakarta mengalami penurunan rata-rata sebesar 5,9%. Yang mengenaskan, penurunan terbesar justru terjadi pada peritel dengan modal kecil. Peritel dengan modal Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta masing-masing mengalami penurunan masing-masing sebesar 14,6%, 11% dan 20,5%. Berdasarkan wilayah, penurunan terbesar terjadi di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yakni sebesar 25,5% dan 22,9%.
Pertumbuhan Ritel Modern Tak Terkendali
Berdasarkan studi yang dilakukan Nielsen (2005), jumlah ritel modern meningkat meningkat lebih dari 100% persen per tahun. Dari 2003 hingga 2005, peningkatan jumlah ritel modern di Indonesia berturut-turut sebesar 132%, 176%, dan 193%. Menurut Ngadiran, pada akhir 2004 jumlah minimarket (Indomaret dan Alfamart) di DKI hanya berjumlah 400-an unit. Pada tahun ini, jumlah minimarket di DKI hampir mencapai 2000 unit. Bahkan, akhir-akhir ini bermunculan pemain baru di ritel modern baik asing maupun local seperti 7 Eleven (Jepang) dan Circle-K.
Di Jakarta hingga 2004, dari 67 lokasi pusat perbelanjaan, 27 diantaranya (atau sebesar 40%) melanggar zonasi (penetapan lokasi dan jarak antar ritel), dimana tiap ritel baik tradisional maupun modern harus memiliki zonasi dengan radius 0,5 km hingga 2,5 km tergantung dari luas lantai. Faktanya, banyak ritel modern didirikan tepat di sebelah ritel tradisional (kasus Blok M), atau ritel modern satu berhadapan langsung—hanya dipisahkan jalan utama—dengan ritel modern lain (kasus Carrefour dan Giant Lebak Bulus).
Di tingkat nasional, 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan omzet Rp 70,5 trilyun. Ini berarti bahwa satu ritel modern menikmati Rp 2,5 trilyun omzet per tahun atau Rp 208,3 trilyun per bulan. Bahkan, porsi terbesar keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh 10 ritel modern inti seperti Indomaret dan Alfamart, Supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, Ramayana, hypermart Carrefour, Hypermart, Giant, Makro (sekarang LotteMart), dan Indogrosir (2009). Jika dibiarkan, kondisi ini cenderung mengarah pada praktik monopoli atau oligopoli, yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tahun 1956, A.A. Navis pernah menuliskan sebuah cerpen dengan judul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen itu menandaskan ditinggalkannya surau sebagai pusat peribadatan akibat keacuhan yang dilakukan oleh umatnya sendiri. Kini, sudahkah kita pantas bergumam “robohnya pasar kami” akibat kekurangpedulian kita semua? Entahlah, mari kita sama-sama merenung.
Penulis adalah Junior Researcher di Indonesia Magnificence of Zakat
Bisa dihubungi di untungkasirin@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H