Kasus Tenaga Kerja Indonesia menjadi viral dimedia sosial dan ramai diberitakan di media cetak pada tingkat Nasional maupun Regional NTT akhir -- akhir ini. Dan yang menjadi berita tentunya kasus yang sifatnya negative seperti kasus TKI meninggal dengan tubuh penuh jahitan, eksekusi mati TKI, penganiayan dan perkosaan yang dialami TKi dan lain sebagainya.
Jarang sekali orang mengulas kasus sukses TKI yang jumlahnya justru lebih besar dibandingkan yang gagal. Namun baiklah, kita tidak usah membahas soal itu, karena sudah banyak pengamat dan ahli yang membicarakannya. Pada kesempatan ini kita akan coba mengulas bagaimana membendung arus anak anak dan saudara kita yang semakin bersemangat meninggalkan kampung halamannya untuk mengais rejeki di negeri jiran.
Dalam ilmu demografi, yang namanya migrasi penduduk ataupun tenaga kerja dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong semakin besarnya minat orang NTT untuk mencari kerja diluar NTT antara lain adalah karena masalah kemiskinan, pengangguran dan peluang ekonomi yang terbatas. Sementara faktor penarik adalah tingginya permintaan tenaga kerja murah didaerah tujuan, kurs mata uang asing yang lebih tinggi dari rupiah dan banyaknya cerita para perantau yang sukses merubah nasibnya setelah pulang merantau menjadi TKI diluar negeri.
Dengan melihat permasalahan diatas maka solusi utama untuk membendung arus deras calon TKI ini adalah dengan membenahi akar permasalahan yaitu melalui perbaikan ekonomi, meningkatkan kemakmuran, penanggulangan kemiskinan, perluasan lapangan kerja dan penciptaan kesempatan kerja dikampung halamannya.
Sebagian besar para TKI kita, baik yang legal maupun illegal, berasal dari daerah pedesaan, oleh karena itu arah sasaran upaya kita untuk membendung arus TKI keluar negeri adalah dengan mulai membenahi, menata dan membangun desa agar menjadi tempat yang nyaman, berpotensi ekonomi dan menyediakan kesempatan kerja yang memadai.
Sebenarnya peluang menata desa ini cukup terbuka lebar sejak Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Dana Desa yang digelontorkan ke Nusa Tenggara Timur sangat besar dan cenderung terus naik setiap tahunnya. Dana Desa yang mengalir ke Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2016 sebesar Rp. 1,85 trilyun pada tahun 2017 meningkat menjadi Rp. 2,36 trilyun dan pada tahun 2018 jumlahnya semakin meningkat lagi yaitu sekitar Rp, 2,53 trilyun
Sayangnya menurut data dari Dinas PMPD Provinsi NTT 80% peruntukan dana desa digunakan untuk pembangunan insfrastruktur dan hanya sedikit sekali penggunaan untuk pemberdayaan masyarakat. Kita tentunya maklum bahwa kondisi insfrastruktur desa -- desa di NTT masih banyak memerlukan pembenahan sehingga layak menjadi prioritas, akan tetapi penggunaan dana desa untuk infrastruktur cenderung habis pakai dan masuk kantong kontraktor, uang kurang beredar dimasyarakat sehingga dampak ekonominya bagi desa baru akan terasa dalam jangka panjang.
Seandainya proporsi penggunaan dana desa berubah, dan sebagian besar peruntukannya untuk pemberdayaan masyarakat, maka uang yang beredar dimasyarakat akan meningkat, perputaran uang jalan terus (tidak habis begitu saja), daya beli meningkat, pasar akan tumbuh dan secara otomatis sector produksi akan menggeliat di desa dan dampaknya adalah perluasan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, penyerapan pengangguran sehingga dorongan merantau untuk mencari pekerjaan akan berkurang. Jika pada tataran tertentu penghasilan masyarakat desa sudah memadai maka ringgit Malaysia tidak menarik lagi, dan jika toh tertarik, mereka ingin ke Malaysia dalam rangka ingin melihat menara Petronas bukan lagi karena ingin mengubah nasib sebagai TKI.
Lalu bagaimana caranya agar mimpi kita untuk perbaikan ekonomi,perluasan kesempatan kerja, pengurangan pengangguran melalui dana desa bisa terwujud ?
Pertama, jika kebutuhan insfrastruktur memang sangat mendesak, maka pilihlah model padat karya, dimana pengerjaan prasarana fisik insfrastruktur melibatkan seluruh komponen masyarakat, terutama para penganggur sehingga perputaran uang dimasyarakat dan daya beli meningkat. Ciri khas padat karya adalah: (1). Model kegiatan padat karya, sesuai dengan namanya, adalah ditujukan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak serta mempunyai dampak manfaat bagi pekerja maupun masyarakat.
Hal ini tentu saja sangat berbeda bila sarana dan prasarana fisik tersebut dikerjakan secara kontraktual oleh pihak ketiga, karena mereka akan menggunakan alat berat yang tentunya lebih efisien dengan melibatkan operator mesin dengan jumlah terbatas. (2). Ciri khas yang paling menonjol dari model padat karya adalah proporsi penganggaran yang lebih besar disediakan untuk uang perangsang kerja (Upah) yaitu sebesar 70 % - 60 % dan sisanya 30 % - 40 % diperuntukkan untuk bahan bangunan atau material lainnya.