Pesantren sesungguhnya lembaga pendidikan mungkin tertua yang ada di Indonesia.Sudah banyak alumni pesatren yang menjadi tokoh di republik Indonesia. Bahkan peran pesantren dalam kehidupan nasional Indonesia juga sudah banyak dicatat oleh sejarah.
Tapi kini dengan merebaknya kasus rudakpaksa atau pelecehan seksual terhadap beberapa santri oleh pengurus atau pengajar santri di beberapa daerah, Seakan menjungkirbalikan peran pesantren.
Kasus ruda paksa santri di sebuah pesantren di Bandung yang kabarnya hingga sedikitnya 12 santriwati menjadi korban bahkan dikabarkan mencapai 24 orang santri, bahkan sampai ada sebanyak 9 bayi yang lahir dari perbuatan guru pesantren tersebut.
Kasus ini kabarnya sudah terjadi sejak lama, tetapi baru sekarang ini mencuat karena adanya pihak korban yang melaporkan ke kepolisian.Sehingga sekarang menjadi ramai sampai tingkat nasional karena viral di media pemberitaan nasional dan media sosial.
Syarat Pesantren yang Baik
Salah satu kabar dari pesantren di bandung yang tersandung kasus perkosaan guru terhadap santriwatinya kabarnya tiada izin operasional dari kementrian agama setempat.
Sehingga sebenarnya ini adalah salah satu syarat untuk menjadi pesantren yang baik adalah adanya ijin opersional. Sebab kalau tidak ada izin pasti pesatren itu ilegal dan tidak ada payung hukum dalam penyelenggaraan operasionalnya.
Kedua, adanya guru yang memenuhi standar keilmuan yang menjadi ajaran di pesantren tersebut. Adanya kabar bahwa yang melakukan pemerkosaan terhadap santriwatinya adalah guru yang tidak menguasai materi ajaran dimana pondok pesantren tersebut mengajarkan penghafal alquran, tapi gurunya tersebut tidak hafal alquran. Sungguh suatu kenyataan yang membuat miris.
Ketiga, adanya penyesuaian guru terhadap kondisi santriwatinya. Dalam artian pengajar santriwati adalah guru wanita (ustadzah) sehingga lebih memahami psikologis santriwati dan menghindari nafsu syawat antara lawan jenis.
Dengan demikian diharapkan lebih bisa menjaga adab di dalam pesantren dimana yang mengurus santriwati adalah pengajar perempuan demikian juga kalau yang santri diajar oleh guru laki-laki (ustadz).
Keempat, harus ada gedung yang memadai. Terutama pemisahan antara santriwati dengan santri serta ustad laki-laki atau pengurus pesantren agar tidak sering-sering berhubungan dengan santriwati. Biasanya yang banyak berhubungan dengan para santriwati adalah Bu Nyai atau istrinya pmpinan pondok pesantern tersebut.