Baru-baru ini terbit sebuah buku yang menarik yang berjudul Partai Semu: Antara Kesisteman dan Dominasi Jaringan Calon yang ditulis oleh DR. Kris Nugroho. Dalam buku itu dinarasikan bahwa pada era reformasi, menghasilkan peradaban partai yang semakin gemuk namun minim narasi idiologis yang bernas dan cenderung prgamatis dilihat dari kepentingan para elitnya. Berpartai semudah orang "brganti baju." Warna dan coraknya mengikuti kepentingan pemakai.
Karena itu, berpartai dalam konteks Indonesia dapat dimaknai sebagai fungsi untuk menjaga agar kepentingan pragmatis politik, pengurus partai atau caleg, tetap terpelihara. Keluar masuk partai, hal yang wajar asalkan terpilih sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain , partai menjadi subordinasi pribadi-pribadi elitnya.
Temuan dari buku yang diangkat dari Disertasi untuk mencapai gelar doktor tersebut menurut saya tidak hanya di dalam partai semu tapi juga negara kini menjadi negara semu. Karena banyak pejabat dan seperti di ranah legislatif dan eksekutif yang rata-rata adalah pengurus partai. Jadi gejala partai semu adalah embrio dari negera semu.
Menjadi Negara Semu
Indonesia sekarang ini kalau boleh dikatakan menuju negara semu. Karena adanya oligarki yang berkuasa. Sebagaimana banyak dikatakan bahwa penguasa di negeri ini telah menyebar tidak hanya seorang presiden tetapi juga bagian lain dari republik ini yang justru lebih berkuasa dari presiden. Mereka memang tidak terlihat tapi justru menjadi penentu dalam mengurusi segala hal di tanah air Indonesia. Jadi oligarki kalau menurut Arbi Sanit (1995:64) definisinya adalah group yang paling menentukan di dalam kehidupan politik nasional.
Penguasaan tanah di Indonesia oleh segelintir orang di Indonesia adalah salah satu bukti. Kemudian adanya pengusaha yang menjadi penyokong kampanye presiden yang seikit banyak mempengaruhi pemerinath. Masih teringat dalam ingatan bagaimana seorang pengusaha mengirim surat kepada presiden untuk meminta suatu kebijakan tertentu.Kemudian yang paling baru adalah skandal PCR yang melibatkan beberapa oknum pejabat negara dimana seharusnya negara adalah sebagai regulator saja bukan eksekutor dalam suatu kebijakan, apalagi yang berhubungan dengan masalah nasional yaitu pandemi covid-19.
Kemudian rencana pemerintah menghilangkan minyak goreng curah di pasaran pada Januari 2021 adalah pukulan telak bagi masyarakat bawah. Padahal harga minyak goreng kemasan harganya selangit. Bukanya menolong rakyat bawah, malah bisa jadi memukul kehidupan masyarakat miskin karena minyak goreng adalah salah satu kebutuhan hidup mereka yang tidak bisa ditunda. Belum lagi usaha UMKM minyak goreng curah yang harus tutup padahal mereka ada pekerja yang harus dihidupi. Maka rencana kebijakan tersebut seolah memberi ruang besar bagi para pengusaha minyak goreng kemasan yang rata-rata adalah pengusaha besar yang sudah mendulang untung besar, untuk semakin berpesta pora mereguk keuntungan, tapi disisi lain pengusaha minyak goreng curah harus gulung tikar karena larangan tersebut. Sungguh kebijakan ironis yang seharusnya dikala masyarakat terbebani dengan kebutuhan hidup yang semakin mahal. Negara justru harusnya hadir untuk masyarakat bukan untuk pengusaha besar.
Belum lagi munculnya undang-undang (UU) Minerba, serta UU Omnibuslaw, walapun untuk yang terakhir ini sudah dibatalkan oleh MK dengan Bersyarat, dimana oleh beberapa kalangan ahli hukum sebagai keputusan yang ambigu, tidak jelas dan aneh. Tapi sebagian peraturan di bawahnya sudah berlaku, yang sedikit banyak mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Pernyataan seorang menteri beberapa waktu yang lalu bahwa upah tenaga kerja Indonesia terlalu mahal dan terlalu banyak libur. Maka seolah negara juga memihak pengusaha. Seolah menteri tersebut menutup mata akan upah tenaga kerja asing (TKA) yang walaupun berposisi jadi satpam tapi gajinya melebihi gaji satpam lokal. Sehingga dengan anggapan demikianlah maka UMP hanya naik 1 persen yang ini malah lebih kecil dari inflasi. Dari kenyataan ini kelihatan ada keberpihakan pemerintah dengan para pengusaha dengan dalih untuk memacu investasi dari luar masuk ke Indonesia.
Dari kenyataan tadi bisa dilihat bahwa sebenarnya negara Indonesia boleh dibilang menuju negera semu alias ada negara tapi dalam kenyataannya dikuasai oleh segelintir elit tertentu yang merupakan penyokong kekuasaan. Dimana dalam negara semu kaum kapitalislah yang banyak berperan, sebaliknya rakyat kecil banyak menjadi korban dari kebijakan pro investasi yang kapitalis tersebut. Dalam negera semu, boleh dibilang negara sebagai lembaga yang netral. Tetapi dalam kenyataannya, negara banyak membantu para pengusaha untuk melakukan ekspansi dalam bisnisnya, karena sistem yang dipakai adalah sistem kapitalis dimana sukses para pengusahanya dianggap sebagai sukses negara dan bangsa (Budiman,1996).
Terjadinya Aliansi Tripel