Kini banyak pemuda lulusan SMU atau sederajat yang berbondong-bondong untuk meneruskan studi kuliah di perguruan tinggi. Karena pendidikan tinggi adalah salah satu pintu gerbang menuju kesuksesan di masa depan.Tapi kadang harapan tidak selalu indah seperti yang dibayangkan. Sebagaimana data BPS yang mencatat sarjana yang menganggur hampir 1 juta pada Februari 2021.
Sebenarnya dengan melihat data pengganguaran sarjana kita bisa melihat bahwa sekolah atau kuliah itu tidak menjamin masa depan cerah sesuai harapan kita. Tapi memang kuliah adalah semacam belajar untuk mengantisipasi masa depan. Dalam artian ketika kuliah disana diajarkan secara teori dan ketrampilan yang bisa diserap oleh mahasiswa dari dosen lewat materi kuliah. Disamping di jenjang kuliah juga ada berbagai kegiatan di luar pembelajaran seperti organisasi mahasiswa baik di dalam kampus maupun di luar kampus.
Semuanya itu untuk menunjang ketrampilan mahasiswa kelak setelah lulus terjun ke masyarakat bisa mememenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan bisa bertahan di tengah persaingan hidup yang ketat. Jadi kuliah dipahami secara pragmatis oleh sebagaian besar besar kalangan masyarakat agar cepat atau mudah mendapatkan pekerjaan. Walaupun dalam kenyataan mungkin bisa lain ceritanya.
Belajar Harus Menjadi Prioritas
Sesunguhnya belajar itu tidak harus kuliah atau lewat sekolah tapi yang lebih pentng adalah sekolah di alam kehidupan yang mengajarkan manusia akan masalah sesungguhnya yagng dihadapi, dibanding dengan dengan jenang pendidikan sekolah atau perguruan tingi yang banyak mengajarkan pengetahuan atau realitas yang kadang sifatnya di atas kertas (buku) yang serba ideal tapi kadang realitas di atas kertas tidak sama dengan realitas didunia kenyataan di masyarakat.
Kadang apa diajarkan di ruang kelas adalah fenomena atau materi lama yang kadang usang atau materi lama yang kadang ketinggalan zaman. Makanya salah seorang dosen dalam sebuah webinar tentang sebuah buku materi kuliah mengatakan bahwa materi-materi kuliah harusnya megajarkan materi meteri masa depan bukan materi kuliah yang isinya masa lalu.
Oleh karena itu maka belajar sudah seharusnya menjadi prioritas yang dilakukan generasi muda. Tidak harus kuliah atau sekolah formal tetapi belajar untuk memehami tantangan masa depan agar bisa terus relevan dengan tantangan zaman. Karena itu saya sepaham dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Utami Munandar yang mengetakan bahwa belajar hendaknya menjadi prioritas lebih-lebih belajar untuk melihat ke depan, yakni belajar untuk mengatisipasi realitas. Ini menjadi penting bagi anak dan remaja yang hidup dalam era globalisasi atau era revolusi Industri 5.0. yang menuntut keterbukaan dan kelenturan dalam pemikiran, serta kemampuan dalam memecahkan masalah nonrutin secara kreatif dan kritis (Syah, 2003).
Dengan kata lain, bagi remaja agar bisa bertahan dari persaingan kehidupan dunia kerja dan kehidupan maka seyognya selalu belajar baik formal melalui sekolah dan kuliah di Perguruan Tinggi (PT) juga perlu pendidikan penunjang baik informal maupun non formal. Sehingga dapat mengikuti perekembangan dan mampu menjawab tantangan di zamannya.
Belajar Untuk Mengantisipasi Masa Depan
Masa sekarang dimana dikenal sebagai zaman ketidakpastian karena perubahan demikian cepat. Maka sebagai manusia kita dituntut untuk selalu belajar setiap waktu dan saat serta setiap ada kesempatan. Karena bagimanapun juga setiap pengetahuan baru manusia nerupakan kemajuan absolut. Tidak ada jalan kembali. Proses belajar tidak dapat diputar kembali.
Karena masa depan di era revolusi industri 5.0 penuh dengan ketidakpastian dimana perubahan berjalan sangat cepat, maka proses belajar juga mengalami perubahan. Kalau dulu zaman tahun 80-90an model belajar yang ada waktu itu adalah cari nilai target SKS atau cara menghafal model pelajar SLTP dan SMU hingga mematikan kreatifitas berpikir siswa dan mahasiswa. Justru sekarang kreatifitaslah yang dipacu agar para pembelajar dapat sukses menapaki anak zaman yang penuh gejolak yang penuh dengan turbulensi ini.