Lihat ke Halaman Asli

Untung Dwiharjo

Tinggal di Surabaya

Mungkinkah Muncul Dwifungsi Polri?

Diperbarui: 19 November 2021   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polisi  pada era sekarang  sepertinya mempunyai peran yang  dominan dalam mewarnai  jagat sosial  politik Indoensia. Berbagai jabatan  strategis  mulai menteri  sampai pimpinan  lembaga  yang  sangat  krusial  dipimpin oleh  seorag polisi. Hal  itu mungkin  itu tak terjadi ketika pada  zaman dwi fungsi ABRI  dimana  jabatan politis banyak diisi TNI.

Pada zaman itu  dwifungsi  ABRI bertujuan untuk   menjaga  stabilita sosial politik pemerintahan Orde Baru waktu itu. Tapi seiring  penerapan dwi fungsi ABRI yang berlebihan  sehingga   mengakibatkan  adanya tindakan militer yang dianggap melanggar HAM, maka dwifungsi  ABRI pun  dihapus. Peristiwa tindakan militer  seperti misalnya kasus Timor-Timur,Irian Jaya, Lampung,Aceh, Maluku,Tanjung Priok  serta  Penculikan para aktifis   mahasiswa dan semacamnya. Maka selepas  Bergulirnya  reformasi maka   ABRI  dalam hal ini  TNI  diharuskan   kembali ke barak dan   menjauhi  dunia politik.  Serta dipisahnya   Kepolisian  dari bayang-bayang TNI. Sebagai wujud reformasi  TNI.

Kini  khususnya  setelah  terpilihnya  presiden  Jokowi dan  berkuasanya partai Demokrasi Perjuangan(PDI-P) institusi Polri  seakan diberi ruang artikulasi dan  peran  dalam sosial Politik  yang lebih  luas. Contohnya  paling nyata adalah  menteri dalam  negeri sekarang adalah seorang  mantan kapolri. Ditambah lagi  sekarang seorang ketua Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) adalah seorang  Perwira  Tinggi Polri  bintang tiga yang sekarang sudah pensiun, sehingga banyak masyarakat  luas  yang mengatakan  KPK seperti cabang dari institusi Polri. Bahkan  seorang kepala  Badan Intelejen Negara (BIN)  adalah seorang purnawiara Jenderal Polisi. Karena pada saat mereka terpilih pada jabatan tersebut mereka masih  polisi aktif.

***

Dahulu ketika  pada masa Dwifungsi ABRI  diterapkan pada  masa Orde Baru  hampir semua sektor kehidupan masyarakat di dalamnnya   melibatkan  militer.  Sebagaimana  dicatat oleh  Eep Syafullah  Fatah dalam bukunya  Pengkhianatan  Demokrasi  Ala Orde Baru peran militer dalam legislatif misalnya jatah militer selalu   mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 terdapat  43 anggota DPR dari FABRI dari 350 kursi. Jumlah  ini  meningkat jadi 100 orang  pada tahun 1985. Selain itu  di bidang pemerintahan  jumlah militer yang di karyakan juga  cukup besar.  Dengan  meminjam  data dari dari buku yang  sama  dapat di telusuri bahwa  pada penggal dekade 1980-an militer mengisi 64%  jabatan pembantu dekat presiden, 38%  menteri. 67%  sekretaris Jenderal, 67% Inspektorat jenderal, dan 20% direktorat jenderal.

Melihat  data-data  di atas  maka pada masa lalu peran militer  terutama TNI sedemikian dominan. Sebaliknya  khusus pada masa pemerintahan  Jokowi terutama pada masa periode kedua ini  peran  Polri demikian  dominan. Khususnya  terlihat dari  jabatan Kepala  BIN  yang dijabat oleh seorang  Purnawirawan Jenderal  yang  terjegal pada  saat   mencalonkan diri menjadi calon Kapolri. Serta  institusi  BIN  adalah  kebanyakan adalah  orang-orang dari  latar belakang militer. Jadi  Polisi  membawahi militer, sungguh suatu anomali walaupun  tidak diharamkan.  Walaupun sebelumnya  kebanyakan kepala BIN adalah  dari TNI  bahkan alumni  dari kesatuan elit Kopassus. 

Sebenarnya gejala   peran anggota polri dikehidupan politik dan birokrasi pada masa sekarang terlihat makin  dominan.  Beberapa contoh  bisa  jadi  menunjukan hal tersebut. Seperti misalnya   dimana pernah  seorang jenderal polisi menjadi direktur Jenderal Imigrasi. Walaupun  setelah ada persoalan  mencuatnya buron Harun Masiku  kemudian beliaunya  diganti  di tengah  jalan.

Gejala  yang paling kelihatan dilapisan paling bawah adalah  munculnya petugas  Babinkantibmas untuk Polri  di desa  atau kelurahan, dimana lembaga ini  setara  dengan Babinsa  dari TNI. Padahal  di  zaman Orde  hanya  Babinsa  dari TNI yang bisa sampai ke desa untuk membina keamanan dan ketertiban  di desa. Krena hal itu menyangkut pengawasan  teritorial.

Belum lagi  posisi strategis  seperti  Mendagri  dan ketua KPK adalah dua institusi yang  sangat strategis. Kementrian Dalam Negeri  pada  masa Orde baru  hampir sebagian besar adalah  dari militer (TNI),  jarang dari polisi yang diberi kepercayaan untuk duduk di posisi tersebut. Sedangkan  KPK  adalah lembaga  yang bisa   menentukan karir politik seseorang.Ketika seorang politisi  tersandung  masalah dengan  KPK hampir  dipastikan hancur  karir politiknya  ketika  terbukti di persidangan. Seperti kasus Anas urbaningrum yang digadang-gadang sebagai salah satu calon pemimpin masa depan.

***

Fenomena  diterjunkannya  pasukan  Brimob  yang merupakan  kesatuan  elit kepolisian  dibandingan  pasukan  TNI  seperti Kopassus atau tim  pasukan elit lainnya dari TNI dalam menumpas  aksi terorisme   di Poso serta  Papua guna  mengatasi  gerakan  pengacau di Papua, juga bisa  dikatakan sebagai   menguatnya peran  kepolisian  dalam isu  keamanan negara.Dimana   hal ini  sebenarnya domain TNI. Sehingga  ada sebagian kalangan  pengamat  militer   mengatakan  bahwa  seandainya pasukan elit TNI diterjunkan untuk menumpas   aksi teroris di Poso dan Papua sejak awal maka akan cepat selesai. Karena dari segi  penguasaan medan dan taktik serta strategi TNI dianggap lebih mumpuni.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline