Polisi pada era sekarang sepertinya mempunyai peran yang dominan dalam mewarnai jagat sosial politik Indoensia. Berbagai jabatan strategis mulai menteri sampai pimpinan lembaga yang sangat krusial dipimpin oleh seorag polisi. Hal itu mungkin itu tak terjadi ketika pada zaman dwi fungsi ABRI dimana jabatan politis banyak diisi TNI.
Pada zaman itu dwifungsi ABRI bertujuan untuk menjaga stabilita sosial politik pemerintahan Orde Baru waktu itu. Tapi seiring penerapan dwi fungsi ABRI yang berlebihan sehingga mengakibatkan adanya tindakan militer yang dianggap melanggar HAM, maka dwifungsi ABRI pun dihapus. Peristiwa tindakan militer seperti misalnya kasus Timor-Timur,Irian Jaya, Lampung,Aceh, Maluku,Tanjung Priok serta Penculikan para aktifis mahasiswa dan semacamnya. Maka selepas Bergulirnya reformasi maka ABRI dalam hal ini TNI diharuskan kembali ke barak dan menjauhi dunia politik. Serta dipisahnya Kepolisian dari bayang-bayang TNI. Sebagai wujud reformasi TNI.
Kini khususnya setelah terpilihnya presiden Jokowi dan berkuasanya partai Demokrasi Perjuangan(PDI-P) institusi Polri seakan diberi ruang artikulasi dan peran dalam sosial Politik yang lebih luas. Contohnya paling nyata adalah menteri dalam negeri sekarang adalah seorang mantan kapolri. Ditambah lagi sekarang seorang ketua Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) adalah seorang Perwira Tinggi Polri bintang tiga yang sekarang sudah pensiun, sehingga banyak masyarakat luas yang mengatakan KPK seperti cabang dari institusi Polri. Bahkan seorang kepala Badan Intelejen Negara (BIN) adalah seorang purnawiara Jenderal Polisi. Karena pada saat mereka terpilih pada jabatan tersebut mereka masih polisi aktif.
***
Dahulu ketika pada masa Dwifungsi ABRI diterapkan pada masa Orde Baru hampir semua sektor kehidupan masyarakat di dalamnnya melibatkan militer. Sebagaimana dicatat oleh Eep Syafullah Fatah dalam bukunya Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru peran militer dalam legislatif misalnya jatah militer selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 terdapat 43 anggota DPR dari FABRI dari 350 kursi. Jumlah ini meningkat jadi 100 orang pada tahun 1985. Selain itu di bidang pemerintahan jumlah militer yang di karyakan juga cukup besar. Dengan meminjam data dari dari buku yang sama dapat di telusuri bahwa pada penggal dekade 1980-an militer mengisi 64% jabatan pembantu dekat presiden, 38% menteri. 67% sekretaris Jenderal, 67% Inspektorat jenderal, dan 20% direktorat jenderal.
Melihat data-data di atas maka pada masa lalu peran militer terutama TNI sedemikian dominan. Sebaliknya khusus pada masa pemerintahan Jokowi terutama pada masa periode kedua ini peran Polri demikian dominan. Khususnya terlihat dari jabatan Kepala BIN yang dijabat oleh seorang Purnawirawan Jenderal yang terjegal pada saat mencalonkan diri menjadi calon Kapolri. Serta institusi BIN adalah kebanyakan adalah orang-orang dari latar belakang militer. Jadi Polisi membawahi militer, sungguh suatu anomali walaupun tidak diharamkan. Walaupun sebelumnya kebanyakan kepala BIN adalah dari TNI bahkan alumni dari kesatuan elit Kopassus.
Sebenarnya gejala peran anggota polri dikehidupan politik dan birokrasi pada masa sekarang terlihat makin dominan. Beberapa contoh bisa jadi menunjukan hal tersebut. Seperti misalnya dimana pernah seorang jenderal polisi menjadi direktur Jenderal Imigrasi. Walaupun setelah ada persoalan mencuatnya buron Harun Masiku kemudian beliaunya diganti di tengah jalan.
Gejala yang paling kelihatan dilapisan paling bawah adalah munculnya petugas Babinkantibmas untuk Polri di desa atau kelurahan, dimana lembaga ini setara dengan Babinsa dari TNI. Padahal di zaman Orde hanya Babinsa dari TNI yang bisa sampai ke desa untuk membina keamanan dan ketertiban di desa. Krena hal itu menyangkut pengawasan teritorial.
Belum lagi posisi strategis seperti Mendagri dan ketua KPK adalah dua institusi yang sangat strategis. Kementrian Dalam Negeri pada masa Orde baru hampir sebagian besar adalah dari militer (TNI), jarang dari polisi yang diberi kepercayaan untuk duduk di posisi tersebut. Sedangkan KPK adalah lembaga yang bisa menentukan karir politik seseorang.Ketika seorang politisi tersandung masalah dengan KPK hampir dipastikan hancur karir politiknya ketika terbukti di persidangan. Seperti kasus Anas urbaningrum yang digadang-gadang sebagai salah satu calon pemimpin masa depan.
***
Fenomena diterjunkannya pasukan Brimob yang merupakan kesatuan elit kepolisian dibandingan pasukan TNI seperti Kopassus atau tim pasukan elit lainnya dari TNI dalam menumpas aksi terorisme di Poso serta Papua guna mengatasi gerakan pengacau di Papua, juga bisa dikatakan sebagai menguatnya peran kepolisian dalam isu keamanan negara.Dimana hal ini sebenarnya domain TNI. Sehingga ada sebagian kalangan pengamat militer mengatakan bahwa seandainya pasukan elit TNI diterjunkan untuk menumpas aksi teroris di Poso dan Papua sejak awal maka akan cepat selesai. Karena dari segi penguasaan medan dan taktik serta strategi TNI dianggap lebih mumpuni.