Desa miliader kini sedang jadi tren. Buktinya setelah sebelumnya dimulai desa Sekapuk di Kecamatan Ujungpangkah, Gresik Jawa Timur. Kini muncul Desa Miliader yang membikin heboh seantero nusantara. Desa Sumurgeneng yang terletak di kecamatan Jenuh, Tuban masih di provinsi yang sama yaitu di Jawa Timur. Disebut Desa Miliader karena sebagaian besar warganya membeli sekitar 178 mobil baru secara tunai dengan berjamaah. Dimana berita yang bikin heboh lewat tiktok adalah deretan 17 mobil baru yang diantar secara bersamaan. Yang membuat berita ini menjadi heboh di media sosial dan akhirnya banyak di liput oleh media televisi.
Aksi borong mobil baru di Desa Miliader baru ini ternyata hasil mereka menerima "ganti untung" atas pembebasan tanah dalam proyek lahan kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) Pertamina Tuban. Tercatat sebanyak 235 warga Desa Sumurgeneng yang menerima pembebasan lahan sebanyak 384 hektar dengan total uang yang di serahkan ke seluruh warga sebanyak 211,9 Triliun. Dimana tanah masyarakat di hargai 600-800 ribu/permeter persegi. Dengan pemerima tertinggi yaitu 26 Miliar dengan rata-rata warga menerima 8 Miliar.
Desa Miliader Baru
Fenomena Desa Miliader di Desa Sumurgeneng yang bak dapat "durian runtuh" dengan adanya proyek kilang minyak sehingga mereka mempunyai banyak uang untuk memborong mobil keluaran terbaru. Dimana satu keluarga tidak cukup satu tapi bahkan ada 4 mobil untuk satu keluarga yang mendapatkan dana "ganti untung" sebanyak 15 Miliar. Menurut salah seorang warga desa dia ikut membeli mobil karena ikut-ikutan karena banyak tetangganya yang membeli mobil. Sehingga sebenarnya fenomena membeli mobil ini lebih karena dorongan "gengsi" tidak mau kalah dengan tetangganya. Dengan demikian mereka membeli mobil tidak selalu karena butuh tapi karena di dorong tujuan-tujuan sosial yang lain prestise, kepentingan umtuk memperoleh modal sosial sebagai tiket menjalin relasi dengan peer-groupnya (baca: tetangga).
Karena di era kapitalisme seperti sekarang membeli barang (seperti mobil) sesungguhnya berarti membeli kesan dan pengalaman serta kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi sederhana , melainkan lebih merupakan interaksi simbolik di mana individu membeli dan mengkonsumsi kesan (Suyanto, 2013). Hal ini terbukti di mana banyak warga yang membeli mobil ternyata ada yang belum bisa mengendarai mobil sehingga mereka kemudian belajar terlebih dahulu setelah membeli mobil. Menurut penulis fenomena memborong mobil yang dilakukan adalah fenomena konsumerisme yang melanda pedesaan akibat terserapnya budaya kosmopitan kota yang merembes ke pedesaan. Mereka tidak mau terasing dari pergaulan tetangga sehingga begitu ada rezeki nomplok banyak tetangga yang borong mobil warga sekitarnya pun ikut-ikutan membeli mobil agar bisa diterima lingkungan sekitarnya.
Sehingga jor-joran warga dalam membeli mobil tersebut sebenarnya bisa membawa efek domino pada kehidupan mereka di masa yang datang. Dimana apabila mereka tidak pintar-pintar mengatur uang mereka yang diterima dari "ganti untung" tersebut mereka bisa tekor untuk biaya pemeliharaan mobil tersebut. Dimana apabila mobil-mobil itu hanya di pakai untuk keperluan pribadi atau sekedar untuk prestise (gengsi) tanpa di imbangi dengan usaha untuk dipakai usaha dengan mobil tersebut, maka lama-kelamaan akan banyak memakan biaya perawatan atau mungkin dijual pada beberapa tahun ke depan. Banyak penelitian di daerah pertanian atau pedesaan menemukan bahwa ketika petani dengan hasil melimpah dan memperoleh banyak uang, mereka gunakan untuk membeli mobil atau kendaraan bermotor. Tapi begitu masa paceklik mereka menjual kembali mobil atau kendaraan bermotornya untuk membeli bibit agar bisa mengolah tanah pertaniannya kembali. Hal itu paling tidak pernah penulis temukan ketika beberapa kali melakukan penelitian pedesaan beberapa tahun silam.
Urgensi Pendidikan Finansial di Desa
Fenomena memborong mobil warga desa yang menerima rezeki melimpah sebenarnya adalah fenomena "gunung es" masyarakat kita, bahwa ketika masyarakat diberikan suatu kelimpahan rezeki misalnya "ganti untung" proyek mereka berorintasi pada perilaku konsumer. Misalnya membeli mobil, memperbaiki rumah dan sebagainya. Tidak salah memang, tapi alangkah baiknya hal tersebut tidak terlalu berlebihan, misalnya satu keluarga hanya membeli satu mobil dalam satu keluarga untuk dipakai bersama-sama . Sehingga bisa menghemat pengeluaran. Apalagi dalam masa pandemi seperti sekarang ini.Dimana dibutuhkan bekal materi (tabungan) untuk waktu yang relatif panjang untuk bisa bertahan dari ancaman krisis ekonomi.
Walaupun demikian tidak semua warga membeli mobil tapi ada juga warga dibelikan reksadana, deposito, bahkan persiapan pendidikan anak. Tidak banyak memang warga yang melakukan hal tersebut. Inilah sebenarnya yang perlu dilakukan aparat desa setempat dan pemerintah daerah serta pihak swasta terkait untuk memberikan edukasi ke masyarakat agar bisa mengerem perllaku konsumer masyarakat desa yang sedang dapat rezeki nompok tersebut.
Jadi yang perlu diberikan edukasi adalah bagaimana masyarakat yang menerima "ganti untung" dengan terlanjur membeli mobil secara berjamaah tersebut bisa mengerem budaya komsumer mereka. Dikatakan oleh Veblen di dalam masyarakat muncul konsumsi yang mencolok karena apa yang mereka lakukan ingin dinilai lebih oleh lingkungan sekitar (Veeger, 1985). Akibatnya cepat atau lambat hal ini akan bisa menyebabkan utang menumpuk dan sekaligus mengurangi kekayaaan bila uang dari hasil " ganti untung" yang diterima warga telah habis terpakai.
Apalagi menurut pendapat aparat desa kebanyakan karena banyak yang berlatar belakang petani yang tidak banyak pengetahuan mengenai tata kelola keuangan dan investasi. Sehingga kedepan diperlukan proses edukasi tentang kecerdasan finansial (keuangan) kepada masayarakat sehingga bisa mengerem konsumerisme masyarakat . Sehingga uang "ganti untung" yang nilianya milyaran itu bisa dialihkan ke investasi yang bernilai jangka panjang seperti lebih banyak membeli tanah agar bisa bercocok tanam lagi atau investasi lain yang di masa depan bisa jadi sandaran hidup. Dari pada sekedar mengejar prestise di tengah masyarakat agar mendapat julukan Miliader di desa. Sehingga konsumerisme yang merembes ke desa dapat di bendung dengan upaya pendidikan keuangan. Untuk itulah urgensi pendidikan finansial untuk warga desa patut di kedepankan.