Pengangguran masih saja menjadi masalah besar di negeri ini. Setiap tahun jumlah pengangguran di Indonesia terus bertambah. Penambahan lapangan kerja memang tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran bertambah 10 ribu sejak Agustus 2016 dalam setahun dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menurun sebesar 0,11 poin.
Kabar buruk ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebanyak 249.362 penganguran merupakan lulusan diploma dan 695.304 pengangguran lainnya merupakan lulusan universitas (data BPS tahun 2016). Menurut Prasetyo dalam buku yang ditulis oleh Suherman berjudul "Perpustakaan Sebagai Jantung Sekolah" menyebutkan bahwa selain menghasilkan pengangguran terbanyak, ternyata sekolah juga adalah lembaga yang paling produktif dalam memproduksi kekerasan dan kejahatan.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia, baik ditingkat sekolah maupun universitas? Kenyataan ini menimbulkan banyak pertanyaan besar. Bagaimana bisa semakin terdidik suatu masyarakat justru berakhir dengan gelar "pengangguran terdidik"? Apakah benar, sekolah tidak mampu mencetak manusia terampil? Apakah sekolah benar-benar bertanggung jawab atas masalah besarnya angka pengangguran terdidik ini? Atau sebenarnya, kita yang tidak tahu untuk apa bersekolah?
Banyak orang berebut masuk sekolah favorit, mempertaruhkan banyak hal: waktu, uang, kesempatan untuk mati-matian mengejar nilai UN tinggi supaya bisa masuk sekolah favorit. Orang tau tidak segan-segan menggelontorkan banyak uang untuk memasukkan anaknya ke bimbel-bimbel yang harganya mencapai jutaan dengan harapan anaknya bisa masuk PTN. Pertanyaan besar terlontarkan kembali, apakah lulus dari sekolah favorit atau PTN ternama bisa menjadi jaminan di masa depan?
Lihatlah berapa banyak lulusan SMA favorit yang tidak bisa melanjutkan kuliah dan berakhir sebagai pekerja pabrik. Ada bayak lulusan SMK favorit menjadi pengangguran. Tidak sedikit, lulusan PTN ternama yang menganggur. Sebaliknya, tidak sedikit pula lulusan PTS tidak punya nama, akhirnya memiliki masa depan yang cerah.
Berarti, sekolah favorit tidak menjamin seseorang memiliki masa depan cerah. Lagi pula, sekolah favorit hanya pelabelan masyarakat berdasarkan banyaknya piala dan lulusan dengan nilai UN tinggi sehingga lulusannya mudah memilih sekolah pada jenjang selanjutnya. Kalau begitu, sekolah hanya wadah untuk naik jenjang dan berpindah tempat. Inilah salah satu bentuk salah kaprah menilai sekolah yang katanya favorit.
Mengenali Minat dan Bakat
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, seringkali guru bertanya "Apa cita-citamu?" Anak-anak pun menjawab dengan mudah "jadi dokter, polisi, dan lain-lain." Namun, cita-cita mereka hanya mulut manis anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Kebanyakan dari mereka tidak bisa berkomitmen dengan apa yang pernah mereka inginkan. Semua itu bukan semata-mata kesalahan mereka. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak yang seharusnya dibimbing untuk memperoleh apa yang mereka cita-citakan.
Masalah terbesar sebenarnya adalah tidak tahu minat dan bakat masing-masing sehingga memutuskan untuk terus saja sekolah, masuk sekolah terbaik dan ketika lulus langsung mendapatkan pekerjaan mapan. Mungkin hidup instan seperti itu masih berlaku pada masa generasi X ketika berada di usia produktif. Ketidakpastian zaman seperti sekarang ini, membuat manusia harus mampu bertahan dalam segala situasi.
Banyak orang sekolah tinggi-tinggi, tapi sebenarnya tidak tahu mau apa. Apa yang akan mereka lakukan setelah lulus. Saya masih ingat diskusi daring Komunitas Guru Belajar Semarang yang saat itu dipandu oleh Pak Bukik Setiawan (Inisiator Komunitas Guru Belajar). Ketika beliau mengajar mahasiswa psikologi UNAIR, kebanyakan dari mereka tidak tahu mau jadi apa setelah lulus. Hanya sedikit yang bisa menjawab pertanyaan beliau. Bayangkan! Mahasiswa tingkat akhir yang hanya naik satu tangga, mereka harus memasuki kehidupan nyata sesungguhnya, masih tidak tahu akan melakukan apa.
Mengenali minat dan bakat seharusnya sudah dimulai ketika usia 13 atau 14 tahun. Disinilah peran orang tua, membantu mereka mengenali dan mengasah minat dan bakatnya. Setelah lulus SMP, mereka bisa memutuskan masuk SMA atau SMK dengan semua konsekuensi. Anak yang memilih masuk SMA pun, sadar dengan konsekuensi bahwa selepas mereka lulus, seharusnya bisa kuliah. Hal paling sederhana adalah tahu kenapa memilih jurusan di SMA, mereka mau jadi apa.