Lihat ke Halaman Asli

Untari Seati

Ibu rumah tangia biasa karena alasan seorang anak aku belajar menjadi ibu yang luar biasa

Sepotong Cinta Usang untuk Naya

Diperbarui: 11 September 2015   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapung aku dalam selaksa tanya, bening mata mu siratkan kata, Naya jika kau ingin pergi meninggalkannku pergilah, Biarkan aku menunggumu dengan selaksa tanya, tanya yang kurabai sendiri dengan berlembar lembar tinta di atasnya maknanya tetap sama Naya Hampa.. rasa itu yang berhasil mendominasi hatiku. Kecemasanku yang tiada terkira membumbung tinggi dan akhirnya jatuh limbung tak berdaya. Naya kini aku hanya mampu rindui wajah ayumu, seraut wajah yang mampu membuat cahaya berpendar dalam hatiku, melebihi bintang yang anggun di senja ini, Cahaya yang sekarang ini berlahan padam pupus hilang dalam hatiku, beginikah Naya sakitku ditinggalkanmu.

Senja yang kesekian kalinya Naya, Hatiku masih tetap sama Merasaimu dalam hujung rindu yang menghampa, terbayang dalam sekelebat angan senja, akan marahmu, wajah cemberutmu ketika tau kelakuan nakalku, Gerutu manjamu yang kurindui Naya.. marah dan cemburumu yang sangat kusuka ketika itu, senyum itu tak akan pernah hilang dari hatiku, semakin aku berusaha melupakanmua semakin jatuh aku dalam hampa yang terdalam... aku tak sanggup naya, jauh dari hatimu.

Kini aku harus mempertegas pada hatiku, karena Nayaku lebih memilih pergi, pergi membawa sepotong hatiku, Tapi Logikaku segera mematahkannya, patah entah yang keberapa kalinya, saat aku harus meyakini cinta dari sebuah hati, semakin aku harus melepasnya demi yang lebih dicintainya.

Karena pada dasarnya cinta adalah batas kuatmu bertahan, jika bertahannya hatimu tak pernah dihargai maka lepaskanlah.. karena melepas yang tak baik adalah berkah yang harus di syukuri, dinikmati menjadi ketetapan takdir yang mesti ditempuh, mengeluh tak berkesudahan adalah beban, beban bagi hati yang sudah terluka karena diduakan.

Saat waktu yang kian panjang menjelang, aku berjumpa kembali dengan Nayaku, senyum itu masih sama, tatapan lembut itu masih sama, tapi hati Naya? Entah sekarang milik siapa dan akan menjadi seperti apa hatinya, saat kembali kutanya pada hatiku Naya hanya diam menunduk lesu, lirih ucapnya sendu "Bresma, hatiku masih milikmu, walau raga ini tak bisa lagi kau miliki" aku hanya terdiam bicara dengan hatiku sendiri denga rasaku sendiri yang berlahan mati.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline