- Cerita Sintiawati, Mahasiswi UHB yang Magang di Okinawa, Jepang
Bagi Sintiawati, menjadi bagian dari Program Magang ke Jepang adalah salah satu keinginan yang ia tetapkan sejak bergabung sebagai mahasiswa Keperawatan di Universitas Harapan Bangsa (UHB).
Mahasiswi 20 tahun asal Banjarnegara ini sudah 11 bulan menjalani proses magangnya di Okinawa, Jepang. Artinya hanya tinggal 1 bulan lagi bagi Sintia untuk belajar dan mencari pengalaman baru di Jepang. Mengingat pada 28 November 2024, Sintia akan kembali ke Indonesia dengan membawa berbagai cerita yang telah memperkaya hidupnya.
Awalnya, keinginan Sintia untuk magang di Jepang tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bukan tanpa alasan, karena Sintia merupakan anak semata wayang dari pasangan Karimah dan Kosasi. "Biar bagaimanapun karena saya anak tunggal, orang tua pasti khawatir kalau saya jauh. Dulu saya juga tidak boleh kuliah di Semarang, karena kejauhan katanya," cerita Sintia.
Meski demikian, Sintia tidak menyerah begitu saja. Ia berusaha keras meyakinkan orang tuanya bahwa magang di Jepang adalah langkah penting untuk masa depannya. "Saya tahu informasi program ini dari internet dan Instagram UHB, dan sejak itu, tekad saya semakin kuat. Saya berusaha menjelaskan bahwa selama tujuannya positif, semuanya akan baik-baik saja," ujar Sintia.
Perjuangan Sintia pun tidak sia-sia. Ia masuk di Kelas Jepang UHB, mengikuti seleksi, hingga akhirnya terpilih sebagai salah satu mahasiswa yang berangkat dalam Batch 6. "Awalnya saya tidak bilang masuk kelas Jepang. Tapi ketika dinyatakan terpilih untuk berangkat, saya baru bilang ke orang tua. Jadi akhirnya diizinkan berangkat dengan syarat agar selalu menjaga diri di Jepang," kata Sintia mengenang.
Di Jepang, Sintia mendapatkan banyak pengalaman berharga yang tidak hanya memperkaya ilmu keperawatannya, tetapi juga membentuk kemandiriannya sebagai pribadi. "Bekerja di lingkungan yang sangat menghargai waktu membuat saya belajar untuk lebih disiplin. Saya juga merasa tersentuh karena orang Jepang cukup ramah pada pendatang. Bahkan, waktu ulang tahun saya, manajer dan staf di tempat saya bekerja menyiapkan kejutan dengan kue ulang tahun. Itu momen yang sangat berarti bagi saya," ungkapnya penuh haru.
Selain pengalaman sosial, Sintia juga mendapat dukungan finansial yang membantu meringankan bebannya selama di Jepang. Bahkan Sintia mengaku mendapat bantuan sebesar Rp10 juta dari Pemerintah Jepang. "Jadi kemungkinan saya diusulkan oleh pihak rumah sakit tempat saya bekerja ke pemerintah Jepang. Jadi itu bantuan khusus untuk orang-orang yang sedang menjalani magang seperti dirinya," ungkapnya.
Dengan gaji yang cukup, Sintia tak hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menabung dan membiayai kuliahnya sendiri. "Sekarang, saya bahkan bisa menabung untuk masa depan, termasuk persiapan melanjutkan ke program Ners setelah lulus nanti," ucapnya bangga.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Tantangan terbesar yang dihadapi Sintia di awal magangnya adalah bahasa. Meski sudah belajar sebelumnya, adaptasi dalam percakapan kerja ternyata tidak mudah. "Awalnya cukup sulit, tapi rumah sakit menyediakan alat penerjemah bahasa untuk membantu kami. Setelah sekitar satu minggu, saya mulai terbiasa dengan bahasa dan pekerjaannya," jelasnya.