Lihat ke Halaman Asli

Negara Ideal Perspektif Abu A'la Al-Maududi

Diperbarui: 25 Oktober 2022   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abu A’la Al-Maududi atau yang biasa disebut Al-Maududi merupakan seorang tokoh pemikir Islam di wilayah kenegaraan. Negara menurut pandangannya merupakan salah satu misi agung dalam Islam, namun di sisi yang lain negara tidak boleh diagung-agungkan.
Ia membawa konsep negara Islam yang berbeda dengan konsep negara lain. Konsep negara tersebut biasa disebut dengan Teodemokrasi. Ia menekankan bahwa konsep yang dibawanya tidak berpihak pada Demokrasi Barat yang mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan tidak berpihak pada Teokrasi Eropa yang lebih mengedepankan pemuka agama dalam menegakkan hukum yang dikatakan sebagai  perwakilan Tuhan.
Konsep Teodemokrasi yang dibawa oleh Al-Maududi memiliki pengertian suatu sistem pemerintahan dimana rakyat diberi kedaulatan yang terbatas akan kekuasaan Allah SWT. Kekuasaan Allah merupakan kekuasaan tertinggi yang harus ditaati oleh rakyat. Segala permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam artian otoritas tertinggi berada pada Allah SWT, dan apabila ada kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan ketetapan Allah, menurut Al-Maududi maka dalam hal ini kebijakan tersebut dihukumi haram.
Kemudian, Al-Maududi menyampaikan bahwa negara Islam ini harus berlandaskan pada 4 prinsip, antara lain membenarkan bahwa kedaulatan tertinggi adalah kedaulatan Allah SWT, mengakui otoritas Rasulullah SAW, mengakui prinsip khilafah yaitu manusia diberikan kekuasaan namun harus dijalankan sesuai dengan batas dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan menerapkan musyawarah. Kemudian Al-Maududi menekankan bahwa walaupun otoritas berada dalam tangan Islam, masyarakat non-Muslim yang berada di daerah kekuasaan tersebut haruslah tetap dijaga seluruh hak-haknya.
Bersamaan dengan hal tersebut, adapun tujuan yang dicita-citakan dari pembentukan negara Islam adalah untuk menghilangkan diskriminasi dan pendominasian terhadap suatu golongan dalam masyarakat; melindungi kebebasan warga negarPa dalam segala aspek dari invasi negara lain; menjalankan keadilan sosial yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Al-Qur'an; menghilangkan kemunkaran dan menerapkan kebijakan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an; menjadi tempat tinggal yang nyaman, aman, dan tenteram untuk warga negaranya.
Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, negara menurut Al-Maududi memiliki 3 lembaga untuk menyelenggarakannya. Dimana 3 lembaga ini biasa disebut dengan trias politica yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Legislatif yang disebut dengan ahlu-l-hal wa-l-aqd oleh Al-Maududi merupakan legal drafter atau yang membentuk sebuah undang-undang. Dalam Islam hierarki perundang-undangan tertinggi adalah Al-Qur’an yang kemudian diikuti dengan Sunnah. Jadi, lembaga legislatif disini haruslah membentuk peraturan atau undang-undang dalam rangka menegakkan syari’at Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ada multitafsir dalam ayat Al-Qur’an atau Sunnah, maka Legislatif disini memiliki kewenangan untuk menentukan tafsir mana yang akan dipakai dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam membentuk peraturan perundang-undangan Legislatif harus mengikuti sumber hukum secara runtut yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Qaulu-sh-shabii, dan pendapat Fuqaha’. Dan jika tidak terdapat pada keempatnya, Legislatif diberikan kewenangan untuk melakukan ijtihad yang sesuai dengan syari’at.
Eksekutif yang disebut dengan ulu-l-amri atau umara oleh Al-Maududi merupakan penyelenggara dan yang menerapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Legislatif. Adapun untuk pemilihan dari kepala negara (khalifah) yang merupakan bagian dari lembaga eksekutif, Al-Maududi menyerahkannya pada umat tanpa menyebutkan aturan khusus mengenai hal tersebut. Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan ini menurut Al-Maududi adalah untuk tidak menerapkan pemilihan dengan memilih orang yang dimajukan oleh golongan-golongan atau kelompok-kelompok tertentu. Lebih lanjut mengenai pemilihan khalifah, khalifah haruslah merupakan orang yang tunduk dan patuh terhadap Allah SWT serta Rasul-Nya, amanah dan bertanggung jawab, shalih (tidak lalai terhadap Allah), berilmu, bijaksana, berakal sehat, dan sehat jasmani serta rohaninya. Persyaratan-persyaratan tersebut juga berlaku bagi kedua lembaga lainnya.
Yudikatif atau qadla (badan peradilan) merupakan lembaga pengawas jalannya peraturan perundang-undangan dan lembaga penegak syari’at di tengah masyarakat. Lembaga Yudikatif juga diberi kewenangan untuk memberikan sanksi pada orang yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seperti yang telah disinggung diatas, masih terdapat ketidak jelasan dalam bagaimana cara memilih khalifah dan anggota-anggota pada setiap lembaga negara. Selain itu, untuk pencopotan anggota-anggota tersebut juga masih belum jelas. Disini Al-Maududi menyerahkan hal tersebut kepada umat untuk memilih jalan yang dianggap paling baik sesuai dengan kondisi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline