Lihat ke Halaman Asli

Ibuku dan HP-nya

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibuku sangat masa kini. Saat beliau terdaulat menjadi seorang nenek karena kelahiran cucu pertamanya, ibu menyebut dirinya dengan sebutan ‘oma’. Keren kan? Padahal sejujurnya aku lebih menyukai sebutan ‘eyang’. Menurutku lebih bersahaja dan menandai dari daerah mana kami berasal. Dan kepada cucunya, diriku dipanggilkan dengan sebutan ‘ma Unik’, padahal aku lebih senang dipanggil ‘bude’. Ah, tapi sudahlah. Lebih penting menghargai beliau bukan, daripada sekadar mempermasalahkan soal panggilan.

Dulu, waktu ayah masih ada, ibu tak peduli dengan handphone. Semua urusan terkait handphone diserahkan bulat-bulat kepada ayah. Jadi kalau kami ingin menghubungi ibu, baik itu bertelpon atau mengirim sms, harus melalui ayah sebagai operator. Ibu tak mengerti cara mencari daftar kontak di phonebook, ber-sms, apalagi menggunakan fitur-fiturnya.
Ayah, sangat efisien dan to the point bila menghubungi kami, anak-anaknya. Sms kami yang panjang kali lebar sama dengan luas itu, cukup dijawabnya dengan ‘ya’ atau ‘ok’ saja. Kami maklum, begitulah ayah.
Sejak ayah tiada, mau tak mau ibu harus belajar menguasai tata cara menggunakan handphone. Tapi ibuku cerdas. Beliau belajar cepat, dan dalam sekejap, ilmu menggunakan HP segera beliau kuasai. Beliau juga mengerti, bila menelpon atau ber-sms akan lebih murah bila dilakukan ke sesama operator. Akibatnya, ibu merasa perlu memiliki 2 handphone dengan simcard beda operator. Membuat takjub para cucu. “Oma hp-nya dua, ck ck ck…”.

Kalau cucu ibu dibuat takjub dengan jumlah HP yang dimiliki omanya, aku seringkali takjub dengan bunyi sms ibu. Gaya tulisannya ABG banget. Ajaib. Aku yang terbiasa mengetik sms dengan T9, cara mengetik cepat yang disediakan sebagai fitur penulisan sms, namun tidak memungkinkan menulis singkatan yang tak lazim, sering pusing dibuatnya. Coba aku kutipkan salah satu sms beliau, “Hai Nik, oma dah d S’pore. Td brgkt jm 8 dr btm. Jgn khwtir oma bnyk temanx. Mw oleh2 pa? G sah lah y, lbh mrh d jkt. Seru dah pokokx. Crtax nanti ja klo dah smp jkt lg. Bye” . Bisa menterjemahkannya?
Saat kembali ke Jakarta, di mobil dari Bandara kembali ke rumah aku bayangkan ibu akan bercerita dengan seru tentang perjalannya ke Singapore, seperti janjinya di sms. Hanya beberapa menit ibu bercerita, kemudian ibu diam beribu bahasa. Pertanyaanku pun hanya sekadarnya saja dijawab, kemudian terdiam lagi, kadang malah tidak nyambung. Aku tak ingin mengusik ibu, tapi ingin tahu juga kenapa ibu diam dan tak lagi mengoceh. Pelan ku tengok ke kursi belakang. Alamak…, ternyata ibu sedang sibuk mengetik di HP, menulis sms, khusyu sekali. Rupanya banyak sms yang harus dibalasnya. Sampai sekarang, aku masih tidak tahu apa serunya perjalanan ibu. Mungkin bagi ibu sudah tak penting lagi.

Ibu memang seorang oma gaul. Walau tahajud, mengaji dan shalat Dhuha tak pernah ditinggalkannya, infotainment gossip dan group-group musik beserta lagu barunya tetap diikuti perkembangannya. Jadi, di usianya yang 64 tahun ibu tetap nyambung diajak bicara dengan topik-topik hangat. Menyenangkan bagi siapapun yang diajaknya berbicara. Ketimbang aku, ibu lebih paham gossip tentang artis ini pacaran dengan siapa dan lagu baru ini dinyanyikan oleh group musik mana. Jadi jangan heran kalau teman ibu banyak. Di rumah, hp ibu lebih sering berdering ketimbang HP 6 orang pemilik lainnya di rumah. Sekali waktu ibu sedang menerima telpon di satu HP-nya, tiba-tiba HP yang lain berdering. Ibu panik, nggak konsen. Wayoo..!! Inginnya, dua-duanya diterima sekaligus. Aih, oma.. oma..

Beberapa hari lalu, adik ibu tercinta meninggal dunia karena kanker yang dideritanya. Innalillahi wa innailaihi raji’un. Kami berangkat ke Purwokerto mengantarkan kepergian tante ke peristirahatannya terakhir disana. Dari mulai masuk mobil, air mata ibu tak berhenti berderai. Aduh, aku jadi khawatir dengan keadaan ibu. Walau ibu sudah menyatakan ikhlas atas kepergian tante, namun tak urung hal itu membuatnya sedih juga. Wajar, namanya kehilangan. Aku membiarkan ibu, ku pikir hal itu mungkin lebih baik, mudah-mudahan bisa melegakannya.
Namun selepas Cikampek, tak ku dengar lagi isak tangis ibu. Hening di bangku belakang. Aku curiga dibuatnya. Aku intip dari cermin di depan, ibu menunduk di belakang. Serius sekali. Saat ku tengok, hmmm… kejadian itu terulang lagi. Rupanya ibu sedang menulis sms. Aaaaaahh.. sms rupanya bisa menghilangkan sejenak kesedihan ibu.

Begitulah ibuku dan HP-nya. Sangat akrab, bak tak terpisahkan. Mengingat situasi ini, dalam hati aku berjanji, tak kan mengenalkan Facebook pada ibuku. Wah, tak terbayang bila ibu menguasai Facebook. Bisa-bisa ibu tukar HP-nya yang sekarang dengan Blackberry atau minta dibelikan Net-book atau berebut Note-book dengan cucunya.
Namun sebenarnya bukan itu masalah utama yang aku takutkan. Kalau ibu menguasai Facebook, pasti semua Profile anak dan cucunya akan dibongkarnya, dan tulisanku ini pun dibacanya. Menggosipi ibunda, bukankah itu hal yang tidak sopan dan kurang ajar? Oh, bisa-bisa aku dianggapnya kualat, durhaka, dan kemudian dikutuknya aku menjadi batu. Ampuuun omaaa…!!!

Uniqqo@Cibubur, 9 April 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline