Lihat ke Halaman Asli

Telepon

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Waktu aku duduk di bangku SD sekitar tahun 1975-an, di rumah sudah terpasang pesawat telepon dengan nomor yang hanya terdiri dari 4 angka. Teman-teman sekolah juga banyak yang memiliki telepon di rumahnya. Jadi adalah hal yang lazim saat itu aku bertelpon-telponan dengan teman untuk mendiskusikan pekerjaan rumah (PR) dari guru sekolah. Tinggal bapak saja yang mondar mandir mengingatkanku soal waktu lamanya menggunakan telpon, karena tentu hal tersebut tidak menyenangkan bapak sebagai pembayar tagihan telepon.

Berbeda dengan saat SD yang sekolahnya memang berisikan anak-anak orang kaya se Denpasar (kecuali aku), waktu SMP, belum banyak teman yang memiliki pesawat telepon di rumahnya. Aku bersekolah bukan di SMP favorit. Murid-muridnya datang ke sekolah masih bersepeda, datang dari segala penjuru kota Denpasar. Yang dekat berjalan kaki, yang jauh seperti aku berkendaraan umum, yang diantar dengan mobil dapat dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Pesawat telepon kala itu masih masuk kategori barang mewah. Jadi aku tak terbiasa bertelpon ria masa itu. Bagi bapak, hal ini membuat situasi menjadi aman. Aman untuk tagihan telponnya.

Waktu SMA, kembali aku bersekolah di sekolah favorit, dan aku kembali bertemu teman-teman SD-ku. Bertelpon menjadi hal biasa lagi. Yang membedakan hanyalah, bertelpon masa SMA bukan lagi untuk membicarakan soal PR. Teman laki-laki ku mulai ada yang berani menelponku. Kali itu, pengawasan bapak bukan lagi pada biaya penggunaan telepon. Aku sudah mengerti bila aku memulai kegiatan bertelpon itu artinya biaya menelpon menjadi tanggungan penelpon. Aku tidak ingin memberatkan bapak. Tapi bila temanku yang menelponku, tentu aku harus melayani telponnya itu bukan? Bukankah urusan pembayaran tagihan telpon ada padanya? Nah disinilah masalahnya. Entah bapak yang tidak suka anak gadisnya mulai bercentil-centil dengan lawan jenisnya, atau memang aku kurang tahu diri menggunakan pesawat telepon berlama-lama. Lah, kalau aku adalah pihak yang ditelpon, bukankah tidak sopan bila aku yang menyudahi pembicaraan?
Bapak tidak bisa (atau tidak mau) mengertikan itu. Jadi seringkali, ditengah-tengah pembicaraan yang seru itu, tiba-tiba ‘blep’ sambungan terputus! Ah, ah, bapaaaaak…
Aku tahu, yang beliau lakukan adalah memutuskan sambungan kabel telpon yang ada di dalam. Huaaa… menghadapi situasi ini aku seringkali serba salah. Aku tahu bapak marah, walau bapak tidak pernah mengungkapkannya (bapak memang tak pandai berkata-kata). Jadi masalahku saat itu adalah, aku harus menghadapi wajah bapak yang tak sedap dipandang, sekaligus kewajiban esok harinya menemui temanku itu, meminta maaf karena pembicaraan yang terputus itu. Aduuh, tak enaknya hati ini.
Beberapa waktu setelahnya, bapak memasang tulisan besar-besar di atas pesawat telpon: BICARA SEPERLUNYA! Walau mungkin itu berlaku untuk siapa saja yang memanfaatkan pesawat tersebut, namun tak urung hal itu membuatku merasa tersindir, seolah tulisan itu ditujukan untukku. Apalagi tak lama kemudian, bapak menambahkan property lain disamping pesawat telpon: jam pasir yang berdurasi 3 menit. Waduh…

Kuliah di Solo, aku kembali ke jaman tanpa telepon. Tapi tak ada masalah dengan hal itu. Yang pertama ku cari saat aku mendarat di Solo adalah kantor pos dan kantor telepon. Untuk menceritakan kejadian sehari-hariku yang tidak membutuhkan jawaban segera, aku menggunakan sarana surat. Namun untuk hal-hal yang urgent, semisal kehabisan uang (apalagi sih hal urgent-nya mahasiswa?), aku terpaksa menggunakan sarana telepon yang hanya dapat di akses melalui Kantor telepon. Belum ada wartel saat itu. Kehabisan uang kok bisa bertelpon ke rumah? A-ha, tentu ada caranya. Collect call, aku yang menelpon, bapak disana yang (lagi-lagi) membayar. Tentu kami berbicara dengan singkat, padat, jelas dan terarah. Aku tahu waktu-waktu jam murah bertelpon, juga cara menghitungnya. Tak heran aku pernah complain di kantor telepon Wonogiri waktu aku KKN disana dan menggunakan layanan mereka. Entah sistem yang keliru atau kesengajaan humanis, mereka tidak menerapkan tarif sebagaimana seharusnya. Complain-ku mempertemukanku dengan pimpinan di kantor tersebut, hingga mereka mengakui kesalahan mereka dan mengembalikan uangku. He he.. sepuluh ribu rupiah di tahun 1991, tentulah amat berarti. Sejumlah itulah uang yang dikembalikan kepadaku.

Setelah aku bekerja di Jakarta, tentu tidak serta merta aku punya cukup uang yang dapat membuatku leluasa bertelpon ke rumah menyapa bapak ibu serta adik-adik. Biaya kost disini sudah memakan 50 % dari gaji pokokku sebagai pegawai negeri. Menelpon dengan cara collect call, ah malu aku. Sudah berpenghasilan masa masih minta dibiayai bapak walau hanya untuk urusan telepon. Kalau hanya untuk menelpon kawan-kawan lokal, aku bisa menggunakan telpon umum koin yang ada di dekat tempat kostku. Tapi bagaimana bila aku ingin menghubungi keluargaku di Denpasar sana?
Beruntung aku punya teman yang licik dan mampu mengakomodasi kebutuhanku soal komunikasi. Masih ingat telpon umum kartu? Dengan mengunakan fasilitas tersebut, temanku ini menawarkan sebuah kartu telpon yang bisa digunakan sepuasnya hanya dengan harga Rp 100.000 (Cukup mahal untuk harga saat itu, tapi dengan kompensasi ‘sepuasnya’, bukankah itu sangat menggiurkan?)
Jadilah aku salah seorang customernya, salah seorang penggunanya, yang bisa ngobrol sering dan berlama-lama di telpon dengan bapak ibu.
Cukup lama aku memanfaatkan fasilitas bebas tersebut, sampai aku mendengar kabar ada orang yang tertangkap oleh pihak Telkom karena menggunakan kartu serupa dengan yang kupunya. Aku tak menggunakannya lagi. Masa aku bisa lupa sih, kalau kegiatan itu sama artinya dengan ‘mencuri’, he he… Bukankah dari kecil kita sudah diberi pelajaran bahwa mencuri itu berdosa, dan kalau berdosa akan masuk neraka? Tuhan, ampuni aku.. :)

Saat ini, adakah masalah dengan komunikasi?
Wah, wah, mungkin 15 tahun yang lalu saat aku menggunakan kartu pencuri itu aku tidak dapat membayangkan bila 15 tahun kemudian dunia akan memanjakan orang dengan teknologi komunikasi. Di setiap waktu, di setiap sudut, bertebaran sarana yang dapat kita gunakan untuk berkomunikasi dengan teman yang ada diseberang benua sana atau bahkan dengan teman di sebelah kita (yang kita tidak inginkan orang lain dengar apa yang sedang kita komunikasikan). Semua serba cepat, serba sekejap, semua ada, serba tersedia! Kemana lagi kita bisa sembunyi? Mengapa lagi kita perlu mencari? Dapatkah kita hindari?
Dengan 3 ponselku yang beraneka rupa, warna dan merk serta bermacam asal operator, dapatkah aku menenangkan diri bila sekali waktu salah satu ponsel tersebut tertinggal di rumah? Wah, bisa-bisa aku missed panggilan dari sekian orang penelpon, atau bagaimana aku bisa update status di Facebook, atau bagaimana aku bisa membuka dan membalas email di perjalanan, dan bagaimana aku chatting dengan kawanku? Tampaknya setengah dunia hilang dari genggaman.
3 ponsel itu standby 24 jam sehari, 7 hari seminggu, seperti emergency call. Tak ada kata lain yang sanggup menggambarkannya, kata yang paling pas untuk situasiku adalah: berlebihan!

Sekarang, bapak sudah tiada, tak ada lagi yang mengingatkanku untuk tidak berlama-lama merumpi di telepon. Kalau toh bapak masih ada, bapak juga pasti tidak akan menegurku karena sekarang bukan bapak lagi yang membayari biaya telponku. Atau malah bisa jadi, saat bapak masih ada, bapak mungkin selalu menunggu telponku, rindu aku menelponnya seperti dulu aku telpon waktu kehabisan uang bulanan saat kuliah, rindu mendengar suaraku menyapanya, karena rupanya terlalu lama aku lupa menelpon bapak. Maafkan aku bapak..
Sekarang aku tak perlu lagi menelponmu bapak. Aku hanya berharap mudah-mudahan doaku terdengar olehNya, sehingga Ia tidak perlu mengutus orang yang bertugas memutuskan sambungan teleponku sekadar mengingatkanku untuk tidak berlama-lama mengerjakan sesuatu yang tak perlu, dan agar aku senantiasa berdoa memohonkan ampun untuk bapak.

Untuk kawanku yang masih memiliki bapak dan atau ibu, sudahkah kawan menyapa beliau hari ini?

uniqqo@Cibubur, 13 Oktober 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline